Sabtu, 14 Maret 2009



Evaluasi Pendidikan Indonesia; Kekhawatiran Masa Depan Bangsa

Satanic circle atau lingkaran setan merupakan suatu gambaran dari lingkaran problematika di bidang pendidikan yang tidak kunjung usai. Terlebih ketika komponen pembentuk lingkaran tersebut adalah problem-problem yang saling merugikan. Sebut saja krisis moneter (baca: ekonomi) yang menjadi komponen pertama dalam lingkaran setan di bidang pendidikan ini.

Ekonomi mengalami kemorat-maritan dengan melambungnya harga kebutuhan, inflasi keuangan dan kenaikan BBM. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kancah perpolitikan yang tidak stabil dan dikuasai oleh para elit yang tidak mau tahu akan nasib rakyat. Praktek politik mereka hanya berdasarkan uang serta kekuasaan, bukan pendidikan. Di negara Indonesia, untuk meraih pendidikan baik dibutuhkan biaya mahal dan mustahil bagi mereka dari kalangan non elit bisa mendapatkannya. Lagi-lagi kembali ke ekonomi, kerusakan ekonomi disebabkan ketidakstabilan politik; sedangkan ketidakstabilan politik disebabkan sistem pendidikan yang carut-marut. Dikutip dari makalah yang disampaikan Dr. Nur Hadi Ihsan, MIRKH, dekan fakultas Ushuluddin Institut Studi Islam Darussalam Gontor, di kesempatan pembekalan pada bulan Ramadhan 2006.

Saat lingkaran tersebut menjadi sebuah bola salju yang semakin membesar, maka faktor pendidikan yang akan dijadikan pemutus lingkaran problematika tersebut. Pertanyaan selanjutnya, "Bagaimana pendidikan yang ingin ditawarkan, sehingga menjadi sebuah solusi kongkrit dari multi problem tersebut?”.

Miris ketika melihat Indeks Pembangunan Pendidikan (Education Development Index) yang dikeluarkan UNESCO tahun 2007 silam. Indeks tersebut menempatkan Indonesia turun pada posisi 58 menjadi 62. Nilai yang diperoleh Indonesia turun dari 0,938 menjadi 0,935. Begitu pula jika melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menilai Indonesia berada di urutan ke-107. Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ini sungguh merosot bila dibandingkan tahun 1997 di mana Indonesia berada pada urutan ke-99. Bahkan, yang mencemaskan, urutan IPM Indonesia masih tertinggal bila dibanding dengan Vietnam yang berada di peringkat 105.

Pendidikan merupakan sarana utama dalam segala pembangunan di masa depan. Dalam bidang apapun, kapanpun, pendidikan selalu menjadi aktor utama. Untuk melanggengkan kemakmuran suatu negara, pendidikan menjadi sebuah kekuatan sehingga negara tersebut bisa tetap eksis. Bahkan bagi Negara-negara Ketiga, sektor pendidikan menjadi langkah paling sakral dalam pembangunan. Sejarah telah membuktikan bahwa eksistensi suatu negara tidak akan bertahan lama bila ditopang dengan idealisme non pendidikan. Jerman tetap runtuh meskipun Nazi dan Hitler demikian kuatnya, pertahanan negara ambruk justru ketika militer yang diprioritaskan. Rusia pun tak pelak mengalami kolaps dengan ideologi komunismenya yang kurang membidik aspek pendidikan. Tetapi, setelah kebijaksanaan pemerintah dirubah haluan ke pembenahan pendidikan dan teknologi; baik Jerman maupun Rusia sekarang telah menjelma menjadi kampiun dunia di bidang tersebut. Pada tahun 2008 ini, sekjen OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) Angel Gurria, melaporkan hasil positif mengenai kemajuan-kemajuan luar biasa yang dicapai Jerman dalam bidang ekonomi dan pendidikan.

Perlunya memprioritaskan sektor pendidikan bukan suatu ide kebetulan belaka. Karena pendidikan adalah proses pendewasaan suatu individu, pun juga dalam skala komunal, yaitu negara. Indonesia yang terlepas dari penjajahan (baca: agresi militer) Belanda dan Jepang masih saja belum sadar bahwa solusi pembangunan sektor pendidikan ini bisa mengentaskan multi krisis yang sekarang sedang melandanya. Sumber daya alam (natural resource) yang melimpah -dan justru inilah yang dijadikan alasan kenapa bangsa Indonesia dijajah- belum bisa dijadikan jalan keluar lantaran sumber daya manusia (human resource) masih di bawah standar. Hal yang perlu diingat adalah sumber daya alam hanya kumpulan bahan mentah dan mati. Maka, untuk bisa menjadikannya sumber kekayaan pendongkrak kemiskinan, dibutuhkan sumber daya hidup yang profesional dalam pengolahannya. Yaitu, sumber daya manusia yang terkait kelindan dengan kemajuan di bidang pendidikan. Sampai 4 Oktober kemarin, jumlah proposal yang masuk di Global Environmental Facility-Small Grants Programme (GEF-SGP) dalam rangka memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia di Indonesia sudah berjumlah 701 buah. GEF SGP Indonesia adalah bagian dari jaringan komunitas manajemen sumber alam yang mengasuh sedikitnya 120 Lembaga Swadaya Masyarakat dan Komunitas Lokal yang memenuhi kriteria.

Flash back dan cerminan sejarah dari Jepang, negara penjajah era 1900-an yang mengalami kehancuran total di tangan Amerika justru bisa bangkit dalam kurun waktu dua dekade saja. Sektor pendidikan yang menjadi penyebabnya sehingga menumbuh-kembangkan sektor-sektor lainnya, semisal industri, teknologi dan ekonomi. Pendidikan di Jepang telah menghidupkan bagaimana industri bisa berjalan sesuai rancangan pembangunan negara, hingga manipulasi agraria yang banyak diinovasi Jepang juga diawali dari langkah awal pendidikan. Menurut Wiliam K. Cummings, beberapa faktor yang mendukung Jepang maju dalam bidang pendidikan adalah: perhatian pada pendidikan datang dari pelbagai macam pihak; sekolah Jepang tidak mahal; di Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah; kurikulum sekolah Jepang amat berat; sekolah sebagai unit pendidikan; guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan; guru Jepang penuh dedikasi; guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan “manusia seutuhnya”; terakhir, guru Jepang bersikap adil.

Berbanding balik dengan negara Indonesia. Selama dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif memang berkembang dengan cepat. Tahun 1965, jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 3.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545. Pada tahun 1999, jumlah ini meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud). Jadi, selama kurun 30 tahun, kuantitas dunia pendidikan Indonesia mengalami peningkatan hampir 300%. Sayangnya, kuantitas tersebut masih belum selaras dengan kualitas yang belum merata di skala pembangunan nasional. Di sana masih ada perbedaan antara pendidikan kota-desa, negeri-swasta, Jawa-Luar Jawa, apalagi tentang kesenjangan antara peserta didik yang kaya dan miskin. Juga seperti sekat yang selama ini memisahkan antara sekolah asuhan Diknas dan sekolah asuhan Depag seiring dengan rencana Dirjen Pendis Depag, Prof. Dr. Muhammad Ali yang hendak membangun 500 madrasah satu atap (25/09/2008).

Dengan melihat data di atas, standarisasi dan peran pendidikan nasional dipandang masih belum bisa menyelesaikan krisis yang sudah lama mengakar dalam nadi kehidupan masyarakat Indonesia. Muncul sebuah paradigma aneh bahwa yang dirasakan selama ini, pendidikan justru menjadi penghambat laju ekonomi dan pembangunan bangsa. Pendidikan nasional dan sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak sekaligus motor pembangunan. Bahkan, Gass (1984) lewat tulisannya berjudul "Education Versus Qualifications" menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi; yaitu dengan munculnya berbagai kesenjangan, seperti kultural, sosial dan khususnya kesenjangan vokasional (lapangan pekerjaan) dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.

Ada yang salah dengan peran pendidikan yang dipraktekkan oleh bangsa ini, baik dalam tataran teoritis maupun dalam ranah praktis. John C. Bock, dalam "Education and Development: A Conflict Meaning" (1992), mengidentifikasi peran pendidikan sebagai: a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi. Sebagaimana yang diketahui, tiga peran ini masih belum berjalan maksimal di Indonesia.

Aksi Pemerintah Soal Pendidikan

Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, pemerintah mempunyai kebijakan pokok yang telah ditetapkan pada tanggal 2 Mei 2002 oleh Mendiknas, untuk mendongkrak kualitas pendidikan bangsa dalam "Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan". Gerakan ini diharapkan bisa menumbuhkan kecakapan anak didik sesuai dengan kebutuhan lokal dalam perspektif global, sesuai dengan makna sebuah ungkapan "act locally think globally". Berturut-turut setelah itu, diamanatkan undang-undang no. 20 tahun 2003 bab III pasal 3, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketika dibutuhkan tenaga profesional pada tataran selanjutnya, maka dijelaskan dalam undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen bab II pasal 4. Secara garis besar, dalam kebijakan praktis di sektor pendidikan, pemerintah telah melaksanakan dua program pokok; pertama, hal yang menyangkut efisiensi pengelolaan pendidikan, dengan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah); kedua, untuk lebih memacu akselerasi peningkatan mutu, dengan sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) –pada tahun 2006 diganti dengan sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).

Semenjak isu desentralisasi pemerintahan bergulir, MBS bisa dibilang imbas pengukuhan hak-hak otonomi daerah. Hingga dalam hal pendidikan, pihak sekolahan dianggap layak untuk menjalankan roda aktivitasnya secara independen dan mandiri, yang pada ujung-ujungnya nanti diharapkan mampu menjadi lembaga pendidikan yang maju dan berkualitas. Grafik positif dari sistem MBS terlihat selama ini dan sepertinya terus bertahan bahkan semakin kokoh. Meskipun tetap saja muncul kritikan-kritikan yang dilontarkan para pengamat pendidikan Indonesia seperti Dr. Laurens Kaluge, dengan artikelnya "Manajemen Berbasis Sekolah: Bakal Gagal ataukah Berhasil?" (2004); dan M. Zainuddin, dengan tesis doktoralnya "Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah" (2008).

Beralihnya pemerintah dari Kurikulum Dasar 1994 ke Kurikukum Berbasis Kompetensi (KBK) memberikan jalan setapak untuk dimulainya harapan-harapan baru dalam pembangunan Sumber Daya Manusia yang bebas dari kebodohan. Alasan mendasar yang menjadikan pilihan kurikulum sebagaimana tersebut di atas adalah, bahwa KBK lebih menitikberatkan pada output peserta didik. Sehingga, hasil dari proses tersebut bisa diamati secara kasat mata. Berbeda dengan Kurikulum Dasar 1994 yang dinilai masih banyak berkutat dengan aplikasi-aplikasi pembelajaran teoritis dan input belaka, siswa hanya menerima susupan dogma-dogma pendidikan. Sistem pendidikan yang hanya berbasis pada input dan proses dipandang kurang dinamis, kurang efisien dan mengarah pada stagnasi pedagogik (Dr. E. Mulyasa, M.Pd.: Kurikulum Berbasis Kompetensi). Namun, baru setengah berjalan sistem ini digusur dengan sistem lain. Yaitu, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Hal ini tentunya mengagetkan sejumlah pihak, terutama yang merasakan langsung efeknya adalah para pengajar dan anak didik. Penanganan pendidikan yang menurut sejumlah pengamat amburadul ini acapkali dikerjakan pemerintah setengah-setengah alias tidak tuntas. Kesiapan dan keahlian guru atau pengajar selalu ketinggalan dalam setiap perubahan. Hanya konsep, buku dan silabus yang sukses dilaksanakan, sedangkan variabel lain yang tidak kalah pentingnya tidak pernah kesampaian, yaitu pelatihan tenaga pengajarnya.

Ragam sistem pendidikan atau kurikulum di Indonesia mengalami proses metamorfose yang sedemikian cepat. Tercatat Indonesia telah –sedikitnya- mencanangkan delapan kurikulum pendidikan semenjak terlepas dari cengeraman penjajah Belanda 63 tahun silam. Menurut R. Bambang Aryan Soekisno, M.Pd., berbagai kurikulum yang mewarnai dunia pendidikan di Indonesia antara lain; satu, Rencana Pelajaran 1947, tetapi baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950; dua, Rencana Pelajaran Terurai 1952, kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran; tiga, Kurikulum 1968, yang ingin membentuk manusia pancasila sejati dan kelahirannya lebih bersifat politis seiring dengan lengsernya kekuasaan Ir. Soekarno yang di'suksesi' Jenderal Soeharto; empat, Kurikulum 1975, yang dipengaruhi konsep populer zaman itu, MBO (Management By Objective); lima, Kurikulum 1984 atau sering disebut Kurikulum 1975 yang Disempurnakan, model ini yang dinamakan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL); enam, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya; tujuh, Kurikulum 2004, bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK); dan delapan, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006, tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.

Paradigma Guru di Indonesia

Profesi guru layaknya tidak disikapi sebagai hard profession, dengan prosedur baku dan muatan standar dalam mengajar. Guru, dalam hal ini, seringkali mengeluhkan bantuan dana yang dijanji-janjikan pemerintah namun belum pernah sampai di tangan. Implikasi logisnya adalah terhambatnya pola dan sistem yang akan diberlakukan sekolah atau pemerintah. Analisa ini mengutip tulisan Rosmi Julitasari di situs Voice of Human Rights (02/05/2007). Sedangkan gaji guru masih pas-pasan, penghargaan profesi pun kurang dan masih banyak lagi problem lain tentang keguruan. Masalah lain seperti atmosfer pembelajaran yang kering dari kreativitas seorang guru. Pembelajaran di ruang kelas hanya digerakkan kecemasan-kecemasan standarisasi kelulusan dan bersifat inhuman. Kekurangan ini bisa jadi disebabkan pendidikan keguruan yang selama ini belum pernah menjadi favorit dan difavoritkan. Di Universitas Negeri Jakarta, pernah dalam satu angkatan, dari 30 orang hanya satu yang menjadi guru. Bahkan lebih dari itu, praktek industrisasi ijazah palsu (baca: jual-beli) malah semakin menambah tinta hitam wajah pendidikan Indonesia. Hal ini terkait dengan tunjangan pemerintah yang diperuntukkan hanya untuk guru yang mengantongi ijazah S1. Bulan Agustus kemarin, jaringan pemalsu ijazah bagi guru-guru yang 'non-qualified' di Jawa Tengah terbongkar seperti yang diberitakan Sindo (25/05/2008).Sejatinya, persoalan guru-guru honorer juga belum tersentuh oleh pemerintah. Borok-borok yang menjangkiti salah satu elemen pembangun pendidikan di Indonesia ini secepatnya wajib ditangani secara serius oleh pemerintah. Jika tidak, kemajuan di bidang pendidikan mustahil akan tercapai.

Seorang ‘yang digugu dan ditiru’ (baca: guru) harusnya mempunyai kategori selected person, kira-kira itulah yang menjadi landasan bagi Sistem Pendidikan Indonesia dengan diterapkannya Sertifikasi Guru Bab IV Bagian Kesatu UU Nomor 14 Tahun 2005; yaitu hal-hal yang menyangkut tentang kualifikasi dan sertifikasi guru. Namun begitu, secara mendetail aplikasi dan pelaksanaan sertifikasi baru diatur Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007.

Sertifikasi guru pada hakikatnya merupakan penerapan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Telah dijelaskan pula bahwa dalam Pasal 8 UU Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan kata lain, guru merupakan profesi seperti profesi lain, misalnya dokter, akuntan, pengacara, apoteker dan sebagainya. Pembuktian profesionalitas guru perlu dilakukan. Seorang akuntan harus mengikuti pendidikan profesi terlebih dahulu demikian juga untuk profesi guru.

Mestinya, sistem pendidikan Indonesia menempatkan guru sebagai soft profession. Dalam proses belajar mengajar, guru mengembangkan keleluasaannya untuk mengembangkan suasana kelas bagi siswa. Tunjangan kesejahteraan juga layak diperhatikan demi kelancaran tugas guru dalam pengajaran. Walaupun tidak mengesampingkan pelatihan-pelatihan keguruan yang komprehensif. Menurut Rosida Tiurma Manurung, wibawa guru harus kembali ditegakkan seperti masa dulu sehingga pendidikan di Indonesia waktu itu tumbuh secara konsisten dan positif. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, wibawa dan harga diri guru terus merosot hingga sampai pada titik di mana guru tidak mampu mencetak kader-kader bangsa yang baik dan produktif.

Pendidikan Agama = Pendidikan Moral

Pendidikan agama yang terkesan minim perhatian dan dukungan terbukti meluluskan generasi muda bangsa yang rendah kualitas moral dan akhlaknya. Seperti yang dikutip oleh seorang pengamat pendidikan asal Medan, dosen Universitas Sumatera Utara (USU), Zulnaidi, M.Hum., mengatakan bahwa, saat ini rata-rata pelajaran agama di sekolah hanya dua jam dalam seminggu. Ini berbanding terbalik dengan pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia, Matematika maupun pelajaran-pelajaran lainnya. “Ironisnya, saat ini pelajaran agama tidak lagi masuk sebagai salah satu mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional (UN). Ini seolah-seolah menunjukkan pada kita bahwa pendidikan agama tidak lagi menjadi kebutuhan utama dalam sistem pendidikan,” papar Zulnaidi lebih lanjut. Mengingat pendidikan agama yang sangat urgen, maka pendidikan agama harus dikembalikan menjadi salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam UN dan termasuk di dalamnya menambah jam pelajaran.

Usaha untuk berbenah dalam hal agama di pendidikan nasional memang ada. Di antara sistem pendidikan nasional yang mengatur akan kompetensi guru adalah ketentuan yang mengatur tentang hak setiap murid untuk mendapatkan pengajaran agama dari guru yang seagama. Bila dicermati, justru kebijakan seperti inilah yang memiliki nilai positif dalam pengembangan pengajaran. Kompetensi guru dalam pengajaran justru menjadi lebih terjamin secara kurikulum dan prosedural. Sisdiknas yang mengatur akan kompetensi guru dalam bidang agama sebenarnya sudah lama ditetapkan, tepatnya Peraturan Nomor 2 sejak tahun 1989; dan RUU Sisdiknas yang secara implisit mengatur pengajar materi agama baru tahun kemarin disahkan dengan fenomena banyak penentang dari kubu non Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar