Sabtu, 14 Maret 2009


Evaluasi Pendidikan untuk Sebuah Perubahan

Seperti yang kita tahu, tahun yang kita jalani ini bukanlah umur sebenarnya dari usia bumi atau kehidupan yang ada. Bukan masa peradaban yang tercipta, usia 2004 hanya produk dari Masehi di mana telah menjadi ketetapan dan konvensi internasional sebagai acuan penanggalan dan kalender. Sebuah produk untuk menyeragamkan waktu. Hanya sekadar simbol dari sebuah identitas bersama.

Terlepas dari simbol dan produk kebudayaan semata, pergantian tahun sering dimaknai sebagai jangkar perubahan, sebagai jembatan untuk meniti rangkaian baru. Banyak terjadi ramalan-ramalan, banyak terjadi pertimbangan, banyak tercipta penyusunan agenda, banyak terjadi perenungan, banyak tercipta mimpi dan impian. Yang pasti, menyambut tahun baru, masyarakat harus ikut menata diri ikut bermetamorfosa, baik secara umur maupun secara tindakan.

Memang tidak semua orang yang terlalu peduli dengan pergantian tahun, termasuk saya. Namun, kita perlu lihat juga banyaknya orang yang begitu percaya bahwa tahun baru sangat berarti. Alasannya, tahun baru adalah saatnya untuk kita menata jalan yang lebih baik.

Lihat kejadian empat tahun lalu, saat pergantian tahun dari 1999 ke 2000, yang disambut secara meriahnya oleh masyarakat. Maklum, saat itu ada anggapan, tahun 2000 sebagai tanda dari dua puluh abad usia bumi menurut penanggalan Masehi, dan menjadi gerbang untuk memasuki abad ke-21.

Untuk sebuah perubahan

Kiranya, yang namanya perubahan dan penataan sudah sewajarnya tidak tergantung hanya dalam satu momen. Apalagi kita tahu bahwa momen tahun baru tidaklah teramat berarti. Kalaupun dinilai dari segi ketepatan, hanyalah pada keseragaman budaya semata.

Layaknya orang bijak sering berkata bahwa perubahan itu senantiasa harus dilakukan setiap waktu, setiap detik di antara kehidupan ini. Kalau misalnya untuk satu perubahan saja harus menunggu waktu selama satu tahun, maka dapat dipastikan bahwa peradaban manusia tidaklah akan bisa maju dan berkembang. Perubahan di sini bukan hanya perubahan secara materi, namun juga secara spiritual, perubahan yang berarti dan luas.

Kita tidak dapat menyingkir begitu saja dari suatu ketetapan bersama, kalau di antara kita sudah menyatakan bahwa tahun baru hanyalah momen yang biasa saja. Untuk sejenak marilah tanggalkan dulu anggapan seperti itu.

Sebagai manusia yang hidup dalam satu tatanan masyarakat di satu bangsa dan di antara sosialisasi bangsa lain, maka mau tidak mau secara langsung maupun tidak, kita tetap akan ikut serta dalam pergantian tahun. Di sini baru tercipta berbagai pemaknaan, ada yang hanya sekadar hura-hura, ada juga yang lebih dalam memaknai pergantian tahun ini.

Sektor pendidikan

Tentunya banyak hal akan kita temukan dalam proses evaluasi, maka dari itu sebagai insan pendidikan, mari kita batasi hanya pada sektor pendidikan itu sendiri.

Kita lihat bagaimana agenda pendidikan belum dijalankan semestinya, kita lihat masih banyak saudara-saudara kita yang masih belum menikmati yang namanya pendidikan, masih ada 1.422.141 anak di usia 7-12 tahun, 5.801.122 pada usia 13-15 tahun, dan 911.394 anak di usia 16-18 tahun yang tidak dilayani pendidikannya.

Ketidakmerataan dunia pendidikan Indonesia, secara langsung maupun tidak langsung menjadi tanggung jawab pemerintah, sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang dan konstitusi negara. Angggaran dana dari pemerintah menjadi salah satu faktornya.

Kita lihat bagaimana pemerintah telah melanggar undang-undang yang dirancangnya sendiri, kita tahu bahwa anggaran pendidikan yang seharusnya dialokasikan sebesar 20% dari APBN belum di penuhi. Kita evaluasi dari tahun 2003 lalu.

Tahun 2003, anggaran sektor pendidikan yang dialokasikan Rp 14 triliun atau 4,9% dari APBN 2003 yang jumlahnya sekira Rp 280 triliun. Lalu tahun 2004, naik menjadi 6,6 % dari APBN 2004, jumlahnya bertambah menjadi Rp 21,5 triliun. Untuk tahun 2005 naik hingga 8% dari APBN 2005.

Dari data di atas kita dapat menemukan suatu bukti bahwa pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam hal pendidikannya. Ketentuan 20% dicicil seenaknya, dan menurut perkiraan, anggaran 20% itu akan tercapai pada tahun 2009 mendatang, masih lama!

Sangat ironis, ketika kita tahu bahwa biaya pendidikan dewasa ini begitu dahsyatnya menguras kantong rakyat, sedangkan pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, terutama rakyat kecil, hanya memandang pendidikan dengan sebelah mata, tidak serius.

Evaluasi juga tentang bagaimana banyaknya kasus dunia pendidikan di tahun 2004 ini, bagaimana kerasnya tindakan aparat dalam kekerasan terhadap mahasiswa UMI di Makasar. Lihat juga bagaimana kasus kekerasan seorang bupati terhadap guru, penggusuran sebuah SMP di Jakarta, dan amati kasus-kasus lainnya yang melanda dunia pendidikan di 2004 yang lalu.

Sebuah evaluasi bersama, biaya pendidikan sudah seharusnya murah, minimal bagi orang yang tidak mampu. Sudah seharusnya ada anggaran dan tindakan kongkret dari pemerintah untuk memperbaiki kinerja dan faktor-faktor terkait dalam dunia pendidikan, baik itu dalam sarana dan fasilitas, maupun sistem serta kesejahteraan tenaga pengajar, juga kesejahteraan guru yang selama ini dikesampingkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar