Rabu, 27 Mei 2009

Model Pembelajaran Inovatif

A. Model Examples Non Examples

Contoh dapat dari Kasus/Gambar yang Relevan dengan Kompetensi Dasar

Langkah-langkah :

  1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran
  2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP/In Focus
  3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada siswa untuk memperhatikan/menganalisa gambar
  4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas
  5. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya
  6. Mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai
  7. Kesimpulan


B. Picture And Picture

Langkah-langkah :
  1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
  2. Menyajikan materi sebagai pengantar
  3. Guru menunjukkan/memperlihatkan gambar-gambar kegiatan berkaitan dengan materi
  4. Guru menunjuk/memanggil siswa secara bergantian memasang/mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis
  5. Guru menanyakan alasan/dasar pemikiran urutan gambar tersebut
  6. Dari alasan/urutan gambar tersebut guru memulai menamkan konsep/materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai
  7. Kesimpulan/rangkuman

C. Numbered Heads Together
Langkah-langkah :
  1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
  2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
  3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok
  4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka
  5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain
  6. Kesimpulan
D. Cooperative Script

Metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan mengikhtisarkan, bagian-bagian dari materi yang dipelajari

Langkah-langkah :
  1. Guru membagi siswa untuk berpasangan
  2. Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan
  3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar
  4. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar : (a) Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap; (b) Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya
  5. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya. Serta lakukan seperti diatas.
  6. Kesimpulan Siswa bersama-sama dengan guru
  7. Penutup

E. Kepala Bernomor Struktur

Langkah-langkah :
  1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor
  2. Penugasan diberikan kepada setiap siswa berdasarkan nomorkan terhadap tugas yang berangkai. Misalnya : siswa nomor satu bertugas mencatat soal. Siswa nomor dua mengerjakan soal dan siswa nomor tiga melaporkan hasil pekerjaan dan seterusnya
  3. Jika perlu, guru bisa menyuruh kerja sama antar kelompok. Siswa disuruh keluar dari kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa bernomor sama dari kelompok lain. Dalam kesempatan ini siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu atau mencocokkan hasil kerja sama mereka
  4. Laporkan hasil dan tanggapan dari kelompok yang lain
  5. Kesimpulan

F. Student Teams-Achievement Divisions (Stad)/Tim Siswa Kelompok Prestasi (Slavin, 1995)

Langkah-langkah :

  1. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll)
  2. Guru menyajikan pelajaran
  3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
  4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu
  5. Memberi evaluasi
  6. Kesimpulan

G. Jigsaw (Model Tim Ahli)/(Aronson, Blaney, Stephen, Sikes, And Snapp, 1978)

Langkah-langkah :

  1. Siswa dikelompokkan ke dalam 4 anggota tim
  2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda
  3. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan
  4. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka
  5. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh
  6. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
  7. Guru memberi evaluasi
  8. Penutup

(H. Problem Based Introductuon (PBI)/(Pembelajaran Berdasarkan Masalah)
Langkah-langkah :
  1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
  2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
  3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
  4. Guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya
  5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

I. Artikulasi

Langkah-langkah :

  1. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
  2. Guru menyajikan materi sebagaimana biasa
  3. Untuk mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan dua orang
  4. Suruhlan seorang dari pasangan itu menceritakan materi yang baru diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga kelompok lainnya
  5. Suruh siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil wawancaranya dengan teman pasangannya. Sampai sebagian siswa sudah menyampaikan hasil wawancaranya
  6. Guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum dipahami siswa
  7. Kesimpulan/penutup
J. Mind Mapping
Sangat baik digunakan untuk pengetahuan awal siswa atau untuk menemukan alternatif jawaban
Langkah-langkah :
  1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
  2. Guru mengemukakan konsep/permasalahan yang akan ditanggapi oleh siswa/sebaiknya permasalahan yang mempunyai alternatif jawaban
  3. Membentuk kelompok yang anggotanya 2-3 orang
  4. Tiap kelompok menginventarisasi/mencatat alternatif jawaban hasil diskusi
  5. Tiap kelompok (atau diacak kelompok tertentu) membaca hasil diskusinya dan guru mencatat di papan dan mengelompokkan sesuai kebutuhan guru
  6. Dari data-data di papan siswa diminta membuat kesimpulan atau guru memberi bandingan sesuai konsep yang disediakan guru

K. Make - A Match (Mencari Pasangan) (Lorna Curran, 1994)

Langkah-langkah :

  1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban
  2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu
  3. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang
  4. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)
  5. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin
  6. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya
  7. Demikian seterusnya
  8. Kesimpulan/penutup
L. Think Pair And Share (Frank Lyman, 1985)

Langkah-langkah :

  1. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
  2. Siswa diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru
  3. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing
  4. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya
  5. Berawal dari kegiatan tersebutmengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diuangkapkan para siswa
  6. Guru memberi kesimpulan
  7. Penutup
M. Debat

Langkah-langkah :

  1. Guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yg lainnya kontra
  2. Guru memberikan tugas untuk membaca materiyang akan didebatkan oleh kedua kelompok diatas
  3. Setelah selesai membaca materi. Guru menunjuk salah satu anggotanya kelompok pro untuk berbicara saat itu ditanggapi atau dibalas oleh kelompok kontra demikian seterusnya sampai sebagian besar siswa bisa mengemukakan pendapatnya.
  4. Sementara siswa menyampaikan gagasannya guru menulis guru menulis inti/ide-ide dari setiap pembicaraan di papan tulis. Sampai sejumlah ide yang diharapkan guru terpenuhi
  5. Guru menambahkan konsep/ide yang belum terungkap
  6. Dari data-data di papan tersebut, guru mengajak siswa membuat kesimpulan/rangkuman yang mengacu pada topik yang ingin dicapai.




Sumber : Bahan Pelatihan LPMP, http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/19/model-pembelajaran-inovatif
Read More..

Sistem Sekolah 2.0

Datangnya tahun ajaran baru selalu menyita perhatian dan merepotkan segenap bangsa. Persoalan pendidikan nasional (diknas) semakin rumit dan menjadi lingkaran setan. Datangnya tahun ajaran baru selalu menyita perhatian dan merepotkan segenap bangsa. Persoalan pendidikan nasional (diknas) semakin rumit dan menjadi lingkaran setan. Usaha untuk meningkatkan mutu diknas sering kandas karena terkendala oleh ekonomi biaya tinggi di lembaga pendidikan. Di mata rakyat perangai lembaga pendidikan semakin kapitalistik dan kejam. Angin surga sekolah gratis yang ditiupkan oleh politisi semakin bikin muak rakyat. Faktanya, berbagai pungutan wajib yang irasional semakin marak di tahun ajaran baru. Mestinya berbagai pungutan itu disikat habis.

Yang lebih memprihatinkan lagi langkah pemerintah untuk membenahi diknas belum transformatif dan progresif sesuai dengan kemajuan jaman. Padahal, fenomena globalisasi yang ditandai oleh kekuatan konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mestinya dijadikan faktor mendasar untuk mentransformasikan diknas. Pentingnya visi pemerintah membangun sistem yang mendukung terwujudnya lingkungan pembelajaran generasi baru alias Next Generation Learning Environment. Yaitu dengan cara pemanfaatan teknologi TIK terkini untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, administrasi, serta interaksi dan kolaborasi antara guru, siswa, orangtua, komunitas, dan sekolah yang lebih efektif dan murah.

Jika kita refleksikan dengan perkembangan TIK global dewasa ini, maka bisa digambarkan tiga kategori atau era sekolah. Pertama, Sekolah Konvensional, dengan ciri sudah mulai memanfaatkan Teknologi Informasi (TI) namun masih sederhana misalnya baru sebatas memanfaatkan aplikasi office (word processor, spreadsheet, presentation) untuk menggantikan mesin ketik manual di Laboratorium Komputer sekolah dan di bagian administrasi sekolah. Keadaan ini disebut pemanfaatan TI pada era Sekolah1.0. Kedua, Program Jardiknas dari Depdiknas mulai diperkenalkan. Sekolah mulai memasuki era pemanfaatan internet. Lalu program pembelian hak cipta buku yang dilanjutkan dengan penyediaan e-Book mendorong sekolah memasuki era baru yaitu kategori Sekolah 1.5. Pada era Sekolah 1.5. sekolah-sekolah mulai memasuki tahapan pemanfaatan TIK secara serentak. Namun potensi TIK tersebut juga belum dimanfatkan secara optimal. Yaitu masih sebatas sebagai alat bantu tulis-menulis pada bagian administrasi sekolah, mengajar office di Laboratorium Komputer dan mengunduh e-Book. Seharusnya TIK bisa dimanfaatkan lebih luas dari itu, yaitu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, administrasi, interaksi dan kolaborasi antara guru, siswa, orangtua, komunitas dan sekolah.

Ketiga, perkembangan internet telah mengarah ke teknologi Web 2.0 yang ditandai diantaranya berkembangnya sistem berbasis jejaring sosial (social networking). Juga diwarnai teknologi AJAX yang memungkinkan berjalannya aplikasi web seperti aplikasi desktop, berkembangnya teknologi multimedia baik audio dan video streaming, dan lain-lain. Sistem di sekolah yang memanfaatkan kemajuan internet diatas disebut Sistem Sekolah 2.0. Sistem tersebut dibangun untuk menunjang penyelenggara satuan pendidikan tingkat dasar dan menengah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sesuai Standar Nasional Pendidikan. Sekolah 2.0 mengintegrasikan Portal Sekolah dengan Layanan Pembelajaran seperti e-Academic, e-LearningManagement, e-Authoring&Learning, e-Library, dan Layanan Administrasi Sekolah seperti e-Filling, dan e-Finance, serta sistem untuk memantau kegiatan pembelajaran.

Signifikansi transformasi diknas dengan Sistem Sekolah 2.0 bisa meningkatkan kinerja guru secara progresif. Forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dalam menyusun materi ajar secara kolaboratif juga bisa terwujud dengan baik. Yang pada gilirannya forum itu bisa memperkuat arus World Wide Innovative Teacher yang mereformasi pendidikan secara cepat. Sistem Sekolah 2.0 juga mempermudah pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) di kelas. CTL merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata. Serta mendorong siswa membuat keseimbangan antara pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga pembelajaran menjadi lebih bernilai tambah. Dalam kelas yang berkarakter CTL, tugas guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan pendorong daya inovasi dan kreatifitas siswa.

Sistem Sekolah 2.0 juga bisa mereformasi Lembar Kerja Siswa (LKS) atau Buku Kerja Siswa (BKS) lebih adaptif dan komprehensif dengan perkembangan IPTEK. Siswa bisa membuat LKS kedalam Blog siswa, dengan demikian materi dan tampilannya lebih sempurna. Hingga saat ini LKS masih jauh dari ideal, karena hanya berisi materi dan soal-soal. Selain itu ditinjau dari segi penyajiannya pun kurang menarik. Mestinya LKS bisa mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinal, dan rasa ingin tahu. Gambaran masa depan dengan Sekolah 2.0 salah satunya adalah penggunaan LKS yang diintegrasikan dengan Web 2.0 sebagai inovasi dalam dunia pendidikan.

Untuk mengambil manfaat potensi kemajuan di atas secara lebih luas, maka dirancang pengembangan sejumlah aplikasi yang mendukung. Yakni aplikasi yang menggabungkan sistem portal sekolah (e-SchoolPortal), sistem informasi layanan sekolah (e-SchoolService), sistem informasi administrasi sekolah (e-SchoolAdministration), Sistem Informasi Pemantauan Sekolah (e-SchoolMonitoring). E-SchoolPortal merupakan gerbang untuk memulai interaksi bagi seluruh pemangku kepentingan sekolah (guru, siswa, orangtua, komunitas, sekolah). Di dalam portal sekolah terdapat seluruh informasi sekolah maupun kelas, blog guru, blog siswa dan fasilitas untuk akses aplikasi sekolah lainnya. E-SchoolService mencakup sistem informasi operasional pembelajaran seperti sistem informasi akademik (e-Academic), sistem informasi perpustakaan (e-Library), sistem informasi manajemen pembelajaran (e-LearningManagement), dan sistem informasi untuk pengembangan materi ajar dan pengajaran (e-Authoring&Learning). E-SchoolAdministration mencakup sistem operasional administrasi seperti sistem informasi keuangan sekolah (e-finance), sistem informasi pengarsipan (e-filling), sistem informasi kepegawaian (e-pegawai) dan sistem informasi perlengkapan/aset (e-perlengkapan). E-SchoolMonitoring merupakan sistem informasi yang dapat digunakan untuk memonitor yang berkaitan dengan pembelajaran (akademik siswa, perpustakaan, arsip dan learning content) dan memonitor administrasi (perlengkapan, keuangan dan kepegawaian).

Dalam EFA Global Monitoring Report 2005, UNESCO menyatakan bahwa kualitas pendidikan salah satunya ditentukan oleh manajemen sekolah. Oleh karena itu penerapan Sistem Sekolah 2.0 merupakan wahana untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, murah dan transparan. Keunggulan lain dari Sistem Sekolah 2.0 adalah tersedianya fasilitas e-authoring&learning berbasis Crayonpedia (sebuah fasilitas pengembangan materi ajar secara kolaboratif dan terbuka) dimana guru, ataupun pihak pendidik lain dapat mengunggah (upload) ide dan hasil karyanya, yang berupa materi ajar, ke dalam fasilitas tersebut. Fasilitas ini memberi kesempatan dan kemudahan bagi para pendidik dan yang berminat terhadap pendidikan untuk berpartisipasi dan menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan pendidikan. Dengan adanya fasilitas ini, semakin banyak materi dan informasi yang berkualitas tinggi yang dapat digali oleh para pelajar. Dan sebaliknya, para guru yang dulunya pasif menjadi proaktif dalam menyalurkan ide dan mengembangkan profesinya. Jika Sistem Sekolah 2.0 dijalankan secara serius akan semakin banyak lembaga pendidikan yang terdongkrak standarnya sehingga setara dengan SBI ( Sekolah Bertaraf Internasional ). Penting untuk dicatat, bahwa selama ini betapa rumit dan mahalnya investasi yang dikeluarkan jika suatu sekolah ingin berstatus SBI dengan standard tertentu. Seperti halnya di dunia industri ada ISO, maka di dunia pendidikan ada International Baccalaureate (IB) dari IBO (International Baccalaureate Organization) yang berpusat di Genewa. Sistem Sekolah 2.0 sangat menjanjikan dalam menggapai standar internasional diatas.



sumber:http://www.dikpora.mataramkota.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=9:sistem-sekolah-20&catid=8:pendidikan&Itemid=13
Read More..

Model-model Pembelajaran

Pada dasarnya model-model dalam pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi 4 model, yaitu:
1) Information Processing Model,
2) Behavioral Model,
3) Social Interaction Model, dan
4) Personal Model.
Nah, sekarang banyak bermunculan nama-nama model pembelajaran baru seiring dengan perkembangan dunia pendidikan. Namun demikian jika kita cermati model-model yang muncul dengan nama yang baru tersebut masih merupakan bagian atau identik dari ke-4 model pembelajaran di atas.

Sebenarnya model-model pembelajaran tersebut berada di dalam Pendekatan pembelajaran. Artinya model pembelajaran sebenarnya merupakan bagian dari pendekatan pembelajaran.

Dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum, guru perlu melakukan serangkaian kegiatan pembelajaran mulai dari perencanaan, menentukan strategi, pemilihan materi dan metode pembelajaran, sampai pada penilaian. Serangkaian kegiatan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan tersebut sering disebut dengan pendekatan pembelajaran.

Pengertian pendekatan sendiri dikatakan oleh Ujang Sukandi (2003:39) adalah cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian, laksana pakai kacamata merah — semua tampak kemerah-merahan.

Pengertian pendekatan pembelajaran secara tegas belum ada kesepakatan dari para ahli pendidikan. Namun beberapa ahli mencoba menjelaskan tentang pendekatan pembelajaran (instructional approach), misalnya ditulis oleh Gladene Robertson dan Hellmut Lang (1984: 5). Menurutnya pendekatan pembelajaran dapat dimaknai menjadi 2 pengertian, yaitu pendekatan pembelajaran sebagai dokumen tetap dan pendekatan pembelajaran sebagai bahan kajian yang terus berkembang. Pendekatan pembelajaran sebagai dokumen tetap dimaknai sebagai suatu Kerangka umum dalam Praktek Profesional guru, yaitu serangkaian dokumen yang dikembangkan untuk mendukung pencapaian Kurikulum. Hal tersebut berguna untuk:
(1) mendukung kelancaran guru dalam proses pembelajaran;
(2) membantu para guru menjabarkan kurikulum dalam praktik pembelajaran di kelas;
(3) sebagai panduan bagi guru dalam menghadapi perubahan kurikulum; dan
(4) sebagai bahan masukan bagi para penyusun kurikum untuk mendesain kurikulum dan pembelajaran yang terintegrasi.

Pendekatan pembelajaran sebagai bahan kajian yang terus berkembang, oleh Gladene Robertson dan Hellmut Lang di maknai selain sebagai Kerangka umum untuk Praktek Profesional guru, juga dimaksudkan sebagai studi komprehensif tentang praktik pembelajaran, maupun petunjuk pelaksanaanya. Selain itu dokumen itu juga dimaksudkan untuk mendorong para guru untuk:
(1) mengkaji lebih jauh tentang pendekatan-pendekatan pembelajaran yang lainnya;
(2) menjadi bahan refleksi tentang pembelajaran yang sudah dilakukannya;
(3) merupakan seni, seperti hal nya ilmu mengajar yang terus berkembang, dan
(4) juga sebagai katalisator untuk mengembangkan profesional guru lebih lanjut.


sumber : http://sunartombs.wordpress.com/2009/04/04/model-model-pembelajaran/
Read More..

Manajemen sekolah akan efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang professional

Manajemen sekolah akan efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang professional untuk mengoperasikan sekolah, kurikulum yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan karakteristik siswa, kemampuan dan commitment (tanggung jawab terhadap tugas) tenaga kependidikan yang handal, sarana-prasarana yang memadai untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar, dana yang cukup untuk menggaji staf sesuai dengan fungsinya, serta partisipasi masyarakat yang tinggi. Bila salah satu hal di atas tidak sesuai dengan yang diharapkan dan/atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah kurang optimal.

Manajemen (berbasis) sekolah, memberikan kewenangan penuh kepada Kepala Sekolah untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi komponen-komponen pendidikan suatu sekolah, yang meliputi input siswa, kurikulum, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, dana, manajemen, lingkungan, dan kegiatan belajar-mengajar.

Berkenaan dengan hal tersebut, perlu disusun Buku Manajemen Sekolah, yang menguraikan tentang berbagai hal yang perlu dilakukan oleh Kepala Sekolah dan Tenaga Kependidikan lainnya dalam rangka menyelenggarakan pendidikan inklusi secara efektif dan efisien.

Di samping menggunakan sarana-prasarana seperti halnya anak normal, anak luar biasa perlu pula menggunakan sarana-prasarana khusus sesuai dengan jenis kelainan dan kebutuhan anak.

Manajemen sarana-prasarana sekolah bertugas merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana-prasarana agar dapat memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar-mengajar.



sumber : http://74.125.153.132/search?q=cache:Dyp77G-cwaAJ:www.ditplb.or.id/profile.php%3Fid%3D54+manajemen+sarana+dan+prasarana&cd=40&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a
Read More..

Manajemen SDM-Dosen dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di Perguruan Tinggi

Dalam klausul 6.1, IWA 2:2007- ISO 9001:2000, Pimpinan Perguruan Tinggi, berkewajiban untuk mengelola sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk mengimplementasi sistem manajemen mutu agar dapat efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pimpinan perguruan tinggi bertanggungjawab terhadap pengelolaannya karena dosen memiliki peran yang sangat strategis dan penompang utama dalam meningkatkan mutu pendidikkan di perguruan tingginya.

Peran dosen dalam meningkatkan mutu pendidikan di Perguruan Tinggi, dimulai dari keberdayaan mereka. Oleh karena itu pengelolaan atau manajemen sumberdaya manusia di perguruan tinggi khususnya untuk dosen, perlu diarahkan pada pembedayaan dan kewirausahaan dosen (baca budaya “wirausaha” dosen). Tentunya pemberdayaan dosen dalam meningkatkan kualitas mutu pendidikan di lembaga pendidikan, tentu harus dimulai dengan adanya suatu stigma berfikir sebagai landasan logis bagi tenaga pengajar untuk dapat memberikan kontribusinya kepada lembaga pendidikan.

Paradigma tenaga pengajar (dosen) itu harus dimulai dengan melakukan orientasi pendidikan, yaitu : pertama, dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat. Kedua, dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, Ketiga, merubah citra hubungan dosen - mahasiswa yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, Keempat merubah orientasi dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, Kelima mengubah orientasi dari pola konvensional menuju pola pendekatan teknologi informasi dan budaya. Dan keenam, dari penampilan tenaga pengajar (dosen) yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja (partnershif kepada institusi/ bukan subordinatif dengan institusi pendidikan),

Dengan paradigma tenaga pengajar tersebut diatas diharapkan nantinya lembaga pendidikan dapat menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif yang berimplikasi kepada munculnya comparatif advantage terhadap suatu eksistensi lembaga pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Sebagai konsekwensinya, maka lembaga atau institusi pendidikan haruslah menyediakan dan menyelenggarakan suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dosen yang lebih selektif.

Mekanisme pengelolaan sumber daya dosen (tenaga pengajar) tersebut dapat dilihat dalam konteks pertama, bagaimana sistem perekrutan (recruitment) tenaga pengajar. Kedua. bagaimana membentuk pola persepsi antara kualitas kognitif tenaga pengajar dengan kemampuan beradaptasi pengajar pada kultur dan sistem akademis yang diterapkan lembaga. Sebab banyak kasus terjadi, institusi pendidikan memiliki sumber daya dosen yang baik, namun dosen tersebut tidak cukup baik untuk “tunduk” pada sistem dan aturan yang sudah di tetapkan secara baku oleh institusi pendidikan.

Hal tersebut kebanyakan di justifikasi bahwa seorang dosen (tenaga pengajar) memiliki indepen-desinya dalam memberikan proses pendidikan dan pengajarannya kepada mahasiswa. Oleh karenanya maka di harapkan dalam proses pengelolaan sumber daya dosen dalam suatu institusi pendidikan, kesepahaman persepsi tentang idealisme yang merujuk kepada budaya institusional haruslah senantiasa dipupuk dan terus dilestarikan oleh institusi pendidikan dalam medium komunikasi di segala kesempatan.

Distorsi komunikasilah yang menyebabkan terjadinya prasangka dan asumsi yang keliru terhadap orientasi pengelolaan sumber daya mahasiswa. Ketiga, bagaimana mekanisme kontrol yang diterapkan oleh institusi pendidikan terhadap proses kegiatan belajar - mengajar yang dilaksanakan oleh para dosen. Untuk mengukur sejauhmana konsepsi pendidikan dan pengajaran berjalan efektif, maka eksistensi dosen dalam institusi pendidikan juga mesti di awasi untuk memberikan keyakninan tentang bagaimana kinerja dan produktivitas dosen tersebut. Keempat, bagaimana penghargaan (reward) yang diberikan oleh institusi pendidikan terhadap para tenaga pengajar yang telah memberikan konstruksi positif bagi eksistensi institusi lembaga pendidikan itu sendiri.

Demikian, sekelumit gambaran bagaimana peran strategis dosen dalam perguruan tinggi sehingga dalam pengelolaannya pun tidak mudah. Tidak ada sistem manajemen yang tepat yang dapat diterapkan di semua organisasi. Oleh karena itu, tulisan ini sekedar berbagi dan semoga bisa memberi inspirasi dan dalam implementasinya tentunya disesuaikan dengan kondisi dan situasi dari masing-masing perguruan tinggi. Semoga bermanfaat.(BQST)

sumber : http://bambangkesit.staff.uii.ac.id/2009/03/15/manajemen-sdm-dosen-dalam-meningkatkan-mutu-pendidikan-di-perguruan-tinggi/
Read More..

Sarana dan Prasarana

SARANA

Kecukupan dan Kesesuaian Sarana.

Komponen Sarana terdiri dari:

1. Peralatan ruang kuliah
2. Peralatan ruang kantor
3. Bahan Pustaka dan sarana lainnya
4. Peralatan laboratorium
5. Fasilitas komputer


PRASARANA

Kecukupan dan Kesesuaian Prasarana

Secara keseluruhan, Gedung Ruang Kuliah, Gedung Perkantoran, Gedung Perpustakaan, Gedung Laboratorium, dan Fasilitas Kesejahteraan merupakan bagian tak terpisahkan dari gedung-gedung yang dimiliki oleh Universitas Surabaya. Kompleks bangunan tersebut berdiri di atas lahan yang terletak di Kampus II Tenggilis, Jalan Raya Kalirungkut Surabaya. Universitas Surabaya mempunyai tiga lokasi kampus, Kampus I terletak di Jalan Ngagel Jaya Selatan 169 sedangkan Kampus III berada di desa Tamiajeng Trawas Pandaan.

Komponen Prasarana terdiri dari:

1. Gedung ruang kuliah
2. Gedung perkantoran
3. Gedung perpustakaan
4. Gedung laboratorium
5. Fasilitas kesejahteraan (ibadah, kesehatan, olah raga dan seni)


sumber : http://www.magistermanajemen.ubaya.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=56&Itemid=78
Read More..

Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran Sentra di Taman Kanak-kanak (Studi Multi Kasus di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru)

Kegiatan belajar mengajar adalah inti proses pendidikan yang berlangsung di Taman Kanak-kanak. Dalam hal ini manajemen kurikulum dan pembelajaran di Taman Kanak-kanak diarahkan pada upaya penciptaan situasi belajar yang tertib dan teratur. Kepala sekolah bertanggungjawab terhadap manajemen kurikulum dan pembelajaran yang baik agar tercipta proses belajar mengajar yang dengan mudah direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan dievaluasi.

Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di Taman Kanak-kanak pendekatan pembelajaran memegang peranan yang sangat penting dalam upaya menyampaikan materi bahan ajar pada anak didik, salah satu pendekatan pembelajaran yang baru diterapkan adalah pendekatan pembelajaran sentra atau BCCT (Beyond Centers and Circle Time) yaitu konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong anak didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2005).

Fokus penelitian ini adalah manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra di Taman Kanak-kanak dengan rincian sebagai berikut: (1) bagaimanakah perencanaan pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru; (2) bagaimanakah pengorganisasian pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru; (3) bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru; dan (4) bagaimanakah pemantauan program pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan multi kasus, karena dua kasus penelitian dengan latar yang berbeda. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan tiga cara, yakni: (1) wawancara mendalam, (2) observasi berperan serta pasif, (3) studi dokumentasi. Pemilihan informan penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, dengan alur (a) reduksi data, (b) penyajian data, (c) penarikan kesimpulan, (d) analisis data kasus individu, (e) analisis data lintas kasus. Agar memperoleh keabsahan data dilakukan dengan tiga kriteria: (1) kredibilitas, (2) dependenitas, dan (3) konfirmabilitas.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra di Taman Kanak-kanak merupakan usaha yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka terciptanya proses belajar mengajar yang efektif dan efesien. Efektivitas dan efesiensi pembelajaran tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra sebagai berikut: Pertama, perencanaan pembelajaran sentra, terdiri atas: (1) pengembangan kurikulum, pengembangan harus perhatikan tujuan dari pendidikan Taman Kanak-kanak, Kurikulum TK 2004 dan Kurikulum Muatan Sekolah; (2) tim pengembang kurikulum, dibentuk pada tiap awal setiap semester untuk menyusun program semester dan program kegiatan mingguan; dan (3) penyusunan program pembelajaran, terdiri atas penyusunan program semester, program kegiatan mingguan, dan program kegiatan harian. Kedua, pengorganisasian pembelajaran sentra, terdiri atas:(1) pembagian tugas guru, terdiri dari guru sentra dan guru wali kelompok; (2) pengaturan ruang kelompok, diatur dengan sistem ruang sentra atau moving class; dan (3) penyusunan jadwal sentra, secara bergiliran, sehingga setiap kelompok mendapatkan jadwal kegiatan belajar disemua sentra. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran sentra, terdiri atas: (1) kegiatan belajar mengajar, terdiri atas; kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup; (2) pijakan dalam sentra merupakan aturan, yaitu: pijakan lingkungan, pijakan sebelum main, pijakan saat main dan pijakan setelah main; (3) puncak tema, dilaksanakan setiap sub tema selesai disampaikan dan melibatkan orangtua untuk memberikan dukungan dana. Keempat, pemantauan program pembelajaran sentra, terdiri atas: (1) pelaksanaan observasi kelompok, dilaksanakan secara berkala dan terjadwal, baik formal dan in formal; (2) tindak lanjut hasil observasi yang bersifat individual dan kelompok; dan (3) evaluasi hasil belajar anak didik merupakan penilaian hasil belajar anak didik dilakukan oleh guru sentra dan guru wali kelompok.

Berdasarkan temuan penelitian tentang manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra, ada beberapa saran yang ditujukan kepada: Pertama, bagi Dinas Pendidikan Kota Banjarbaru, hendaknya dapat mensosialisasikan pelaksanaan manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra kepada seluruh Taman Kanak-kanak di Kota Banjarbaru, agar para kepala sekolah dan guru mampu dan bisa menerapkan pembelajaran sentra dengan baik. Kedua, bagi GOPTKI Kota Banjarbaru, kiranya memberikan dukungan kepada sekolah dalam penerapan pembelajaran sentra. Berupa pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembelajaran sentra. Ketiga, bagi IGTKI Kota Banjarbaru, hendaknya dapat mengadakan pelatihan bagi kepala sekolah dan guru Taman Kanak-kanak mengenai pelaksanaan manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra di Taman kanak-kanak. Keempat, bagi kepala sekolah, kiranya lebih meningkatkan pelaksanaan pemantauan program pembelajaran sentra lebih intensif, sehingga kelemahan-kelemahan dalam pembelajaran sentra dapat segera dicarikan solusinya. Kelima, bagi para peneliti selanjutnya, kiranya dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembelajaran sentra di Taman Kanak-kanak, misalnya mengenai kepemimpinan dalam pembelajaran sentra di Taman Kanak-kanak.

sumber : http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/966
Read More..

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Desentralisasi di bidang pendidikan merupakan satu aspek yang sangat penting dari upaya Pemerintah dalam bidang desentralisasi. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai bagian dari strategi Pemerintah dalam desentralisasi pendidikan bertujuan memperkuat kehidupan berdemokrasi melalui desentralisasi kekuasaan, sumber daya dan dana ke masyarakat tingkat sekolah. Bersama partisipasi aktif masyarakat dalam bidang pendidikan MBS akan membantu sekolah dalam merencanakan manajemen sekolah, kebutuhan belajar siswa dan membuat keputusan pada masalah-masalah yang langsung berakibat pada pengelolaan sekolah dan belajar siswa. Dengan cara ini diharapkan MBS dapat meningkatkan demokratisasi pengeloaan sekolah, transparansi perencanaan, akuntabilitas pelaporan proses belajar-mengajar yang aktif, kreatif, dan menyengangkan, yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan pada umumnya.

Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dikembangkan dari hasil penelitian tentang sekolah efektif. Konsepnya berupa desentralisasi manajemen sumber-sumber daya ke tingkat sekolah: pengetahuan, teknologi, kewenangan (power), bahan, orang, waktu, dan keuangan. Desentralisasi ini bersifat administratif: keputusan yang dibuat di tingkat sekolah harus dalam kerangka kebijakan nasional. Dengan demikian, sekolah masih harus akuntabel kepada Pemerintah atau pemerintah daerah, tidak hanya kepada masyarakat dan pememangku kepentingan lainnya dalam pendidikan.

Secara garis besar, MBS adalah upaya (i) mendelegasikan organisasi, manajemen dan tata kelola (governance) sekolah; (ii) memberdayakan orang yang paling dekat dengan siswa di kelas, yaitu guru, orangtua dan kepala sekolah; (iii) menciptakan peran dan tanggung jawab baru bagi seluruh orang yang terlibat dalam MBS; dan (iv) mentransformaskan proses belajar-mengajar yang terjadi di sekolah (Hallinger, Murphy, & Hausman, 1992). Dengan demikian manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang ditandai oleh adanya kewenangan pengambilan keputusan yang lebih luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

sumber : http://www.mbs-sd.org/isi.php?id=17
Read More..

Evaluasi Kurikulum

Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”

Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”

Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.

Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”

Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya

Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.

Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)

Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.

Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :

1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.


sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/22/komponen-komponen-kurikulum/
Read More..

Organisasi Kurikulum

Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:

  1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
  2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
  3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
  4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
  5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.

Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan

Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.


sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/22/komponen-komponen-kurikulum/
Read More..
Manajemen Kurikulum

Kurikulum mencakup kurikulum nasional dan kurikulum muatan local. Kurikulum nasional merupakan standar nasional yang dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan kurikulum muatan local merupakan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan, yang disusun oleh Dinas Pendidikan Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota.

Kurikulum yang digunakan di kelas inklusi adalah kurikulum anak normal (reguler) yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa. Modifikasi dapat dilakukan dengan cara: (1) Modifikasi alokasi waktu, (2) Modifikasi isi/materi, (3) Modifikasi proses belajar-mengajar, (4) Modifikasi sarana-prasarana, (5) Modifikasi lingkungan belajar, dan (6) Modifikasi pengelolaan kelas.
Manajemen Kurikulum (program pengajaran) Sekolah Inklusi antara lain meliputi: (1) Modifikasi kurikulum nasional sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa (anak luar biasa); (2) Menjabarkan kalender pendidikan; (3) Menyusun jadwal pelajaran dan pembagian tugas mengajar; (4) Mengatur pelaksanaan penyusunan program pengajaran persemester dan persiapan pelajaran; (5) Mengatur pelaksanaan penyusunan program kurikuler dan ekstrakurikuler; (6) Mengatur pelaksanaan penilaian; (7) Mengatur pelaksanaan kenaikan kelas; (8) Membuat laporan kemajuan belajar siswa; (9) Mengatur usaha perbaikan dan pengayaan pengajaran.


sumber : http://74.125.153.132/search?q=cache:Dyp77G-cwaAJ:www.ditplb.or.id/profile.php%3Fid%3D54+manajemen+kesiswaan&cd=11&hl=id&ct=clnk&gl=id Read More..
Mutu Pendidikan Matematika di Indonesia Rendah

January 03, 2009 By: Dwiani listya27 Category: Uncategorized

Suara Pembaruan (18/01/07): Mutu pendidikan matematika di Indonesia masih rendah. Ketua Asosiasi Guru Matematika Indonesia (AGMI), Firman Syah Noor mengatakan prestasi matematika siswa kelas 8 (setara SMP kelas 2) di Indonesia masih lebih rendah dibanding-kan dengan Malaysia dan Singapura yang jumlah jam pengajarannya setiap tahun lebih sedikit dibandingkan Indonesia.”Prestasi kita 411, Malaysia prestasinya 508, dan Singapura 605. Padahal jam pelajaran di Indonesia adalah 169 jam rata-rata setiap tahun. Sedangkan Malaysia 120 jam dan Singapura hanya 112 jam,” terangnya dalam konferensi pers The First Symposium on Realistic Teaching in Mathematics di Bandung, Selasa (16/1).

Bila nilai tersebut bi- la dikelompokkan, kata Firman, nilai 400-474 termasuk rendah, 475-449 termasuk menengah, 550-624 termasuk tinggi, dan 625 termasuk tingkat lanjut. Nilai tersebut, sambungnya, merupakan hasil analisis pelaksanaan Trends in International Mathematics and Science Study yang dilakukan Frederick KS Leung dari The University of Hong Kong.”Hasil analisis itu menunjukkan di Indonesia lebih banyak waktu yang dihabiskan siswa di sekolah, tetapi tingkat prestasi siswanya rendah,” katanya.

Penyebabnya, terang dia, kebanyakan soal matematika yang dikerjakan di ruang kelas diekspresikan dalam bahasa dan simbol matematika yang pengajarannya tidak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya, siswa merasa takut dan malas belajar matematika.


sumber : http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=973#more-973 Read More..
MANAJEMEN KURIKULUM ATAU MANAJEMEN SEKOLAH?
Salah kaprah atau Ketidak-pedulian?

KabarIndonesia
Dalam dua tulisan terdahulu : YANG TERLEWATKAN DARI KTSP dan SEHABIS KTSP LALU APA? SKS! penulis telah memaparkan secara teknis upaya-upaya untuk memahami grand design pendidikan kita yang menyatu dengan langkah-langkah untuk mencapai kriteria Sekolah Mandiri. Dalam tulisan itu penulis juga mensyaratkan penerapan KTSP secara benar (melalui penyusunan Dokumen I dan Dokumen II seperti yang termaktub dalam Permen No. 22/2006, Permen No. 23/2006 dan Permen No. 24/2006 bulan April 2006) serta perlunya pembenahan manajemen sekolah (melalui Permen No. 19/2007 bulan Mei 2007 tentang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).

Namun amat disayangkan bahwa kita hanya mengikutinya sepotong-sepotong sehingga sekolah-sekolah kita terjebak dalam pola kebiasaan lama, tak ada upaya menuju perubahan, terobosan dan revitalisasi seperti yang telah penulis uraikan dalam dua tulisan terdahulu. Mengapa ini semua terjadi? Karena kita selalu bergerak dalam tataran wacana sedangkan rangkaian Peraturan Mendiknas (Permen) itu membutuhkan langkah-langkah teknis implementasi konkrit di lapangan.

Meskipun penulis sudah menengarahi KTSP sebagai revolusi dalam dunia pendidikan kita, tapi sekolah-sekolah kita tetap melihatnya secara adem ayem saja. Apa sebabnya? Filosofi perubahan ini tak tertangkap, yaitu perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan kita dapat diaudit secara jelas dan terukur. Kompetensi guru dan siswa harus dapat diaudit, begitu pula kinerja sekolah dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru) harus dapat diaudit secara jelas dan terukur. Kesalah-pahaman dan kesalah-kaprahan

Bila sekolah-sekolah tidak menyusun KTSP menurut 15 langkah standar minimal yang disyaratkan oleh para pakar disain kurikulum (Bloom, Peter W. Airisian, Mills dll) maka benang merah antara KTSP dan MBS tak akan terlihat. Rumusan Visi dan Misi sekolah hanya akan menjadi penghias dinding ruang Kepala Sekolah saja sedangkan para guru bekerja menurut polanya sendiri-sendiri.

Disiplin makin merosot dan pendidikan budi pekerti tetap terabaikan (orang hanya berbicara tentang pendidikan nilai yang diseminarkan dan tak membumi). Seluruh stakeholders akan terjebak dalam kesalah-pahaman yang fatal yaitu menganggap KTSP sebagai urusan administrasi (manajemen kurikulum) guru semata, bukan urusan pembenahan manajemen sekolah.

Transparansi dan akuntabilitas hanya dipahami sebagai penilaian hard competency (cepatnya membagi hasil ulangan/test kognitif saja) tanpa melihat potensi soft competency (psikomotorik dan afektif) yang terpendam dalam diri siswa. Akibatnya akan muncul kesalah-kaprahan massal yaitu menganggap pengadopsian tata cara terapan manajemen kurikulum sebagai suatu terobosan baru seperti :

* - penggunaan SMS (sistim manajemen sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan nilai ulangan/test kognitif secara on-line, atau
* - SAS (sistim administrasi sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan silabus dan hasil pembelajaran dalam suatu bank data yang tersentralisir dan dapat diakses publik (namun proses pemelajaran (yang sangat berbeda dengan proses pembelajaran) yang sangat penting dalam penyusunan KTSP malah tak terakomodasi dalam SAS), atau
* - SIMS (sistim informasi manajemen sekolah) dan SIMDIKDU (sistim informasi pendidikan terpadu) yang tak lebih dari penyatuan data informasi siswa, kurikulum dan rapor serta data kelengkapan infrastruktur sekolah yang biasanya tersimpan dalam bank data sekolah di server yayasan menjadi terbuka dan dapat diakses publik (namun hal ini tidak menjawab pertanyaan bagaimana cara mengaudit kinerja sekolah dan kinerja semua tenaga kependidikan (kepala sekolah/wakil kepala sekolah dan guru) melalui SIMS/SIMDIKDU.

Kalau semua data sudah bisa disatukan di bank data dan dapat diakses publik, so what gitu lho? Apakah sekolah lalu siap untuk maju dalam sertifikasi ISO 9000 (audit manajemen berstandar internasional)?


sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20071019073309 Read More..
Komunikasi dalam Manajemen Kurikulum



Kurikulum merupakan unsur vital dalam setiap program pendidikan. Selalu saja guru yang diharapkan untuk mempersiapkan perangkat pembelajaran selama satu tahun. Hal ini merupakan kegiatan rutin bagi guru sehingga banyak yang beranggapan untuk terlalu penting untuk memperbarui kurikulum yang dibuatnya. Dalam lingkungan sekolah yang tidak terlalu besar, komunikasi bisa berjalan mulus dari pembuat kebijakan (kepala sekolah dan bagian kurikulum)kepada guru pengajar atau sebaliknya.

Komunikasi intensif di sekolah kecil bisa dijalankan mulai dari penyusunan program, pelaksanaan, kontrol dan evaluasi pelaksanaan pembelajarannya. Setiap kendala yang dihadapi guru dalam pengajaran menjadi topik utama bagi guru, bagian kurikulum dan kepala sekolah. Guru tidak hanya mendapat komando di awal yang berupa pemberian jadwal dan kemudian divonis pada akhir tahun pelajaran. Pada saat siswa berhesil guru sekedarnya dipuji. Sedang jika mereka melihat siswa tidak berhasil dalam belajar, guru dicaci. Sukses belajar pada siswa merupakan sukses guru dan sekolahnya. Komunikasi kurikulum selama proses pelaksanaan pembelajaran selalu terkait dengan problem solving. Setiap kendala dalam proses pembelajaran harus cepat ditanggapi oleh pihak kurikulum. Persoalan menjadi rumit dalam manajemen kurikulum di sekolah yang jumlah siswanya sangat besar. Sebagian dari keberhasilan dari sekolah unggul adalah solidnya kontrol terhadap pelaksanaan program kegiatan belajar mengajar selama satu tahun. Kontrol ini memang membuat bagian kurikulum sangat sibuk. Analoginya adalah: Bila di sekolah besar pihak pelaksana kurikulum tidak terlalu sibuk memegang kendali dan kontrol pengajaran di sekolah, pertanda bahwa sukses pembelajaran siswa akan tertunda. Kalau pihak pelaksana kurikulum melihat keganjilan dalam kegiatan-kegiatan yang mendukung pembelajaran, harus ada pemecahan yang cerdas dan cepat sehingga sukses siswa tidak tertunda. Guru, bagian kurikulum dan kepala sekolah wajib tanggap terutama terhadap pelaksanan program pembelajaran. Tanggapnya unsur sekolah bukan hanya untuk membuat jadwal dan melakasanakan ujian



sumber : http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=957#more-957 Read More..
Menjadi Guru Efektif




Selain mengajar dan mendidik siswanya, guru juga merupakan orang tua kedua di sekolah. Guru diharapkan dapat membantu siswanya dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dialami siswanya. Cara yang konstruktif dalam membantu murid menyelesaikan masalahnya misalnya dengan melakukan hal-hal berikut :

1.

Mendengar pasif (Diam). Hal ini merupakan pesan nonverbal yang kuat yang membuat murid merasa diterima dengan tulus dan mendorongnya mengungkapkan masalah dengan lebih dalam. Tapi diam tidak membuktikan bahwa Anda benar-benar menaruh perhatian atau mengerti.
2.

Respon Pengakuan. Isyarat non verbal (mengangguk, mengerutkan dahi, tersenyum) dan isyarat verbal (”Oh”, “Saya tahu”) memberitahu murid bahwa anda benar mendengarkan dan menyatakan bahwa anda masih memperhatikan dan anda tertarik (empati). Tapi tidak membuktikan bahwa guru memahami masalahnya.
3.

Kunci Pembuka, Ajakan untuk Bicara. Hal ini memberikan dorongan tambahan agar murid berbicara lebih banyak, lebih dalam atau bahkan untuk mulai berbicara. Misal : “Apakah kau ingin membicarakan hal itu lebih lanjut ?”, “Itu sangat menarik, apa lagi ?”, “Sepertinya engkau mempunyai perasaan mendalam tentang hal itu”, “Saya terkesan dengan apa yang kau katakan”, “Apakah kau mau membicarakan hal itu ?”. Cara ini tidak efektif untuk menunjukkan suatu penerimaan, pengertian atau kehangatan. ‘Membuka pintu’ bukan menjaga ‘pintu tetap terbuka’. Bila terlalu sering digunakan akan menjadi klise.
4. Mendengar Aktif (Umpan Balik). Membuktikan bahwa pendengar mengerti. Perlu diperhatikan bahwa apa yang dikatakan murid sering merupakan pesan yang telah disandikan. Sebagai contoh pertanyaan “Jam berapa sekarang” dapat berarti pesan bahwa “Saya lapar”. Dengan mendengar aktif murid dan anda akan tahu bahwa pesan yang disampaikan telah diterima dengan benar, dan tidak hanya merespon sandinya saja.

Contoh : Murid : Sekolah ini tidak sebagus sekolah saya dulu. Murid-murid di sana sangat ramah.
Guru : Kau merasa dikesampingkan di sini.
Murid : Iya.
atau
Murid : Saya tak tahu apa yang akan saya ambil di perguruan tinggi nanti. Saya ingin mengambil teknik sipil, tapi ibuku ingin akau mengambil matematika.
Guru : Kau bimbang antara keinginanmu dan keinginan ibumu.
Murid : He-eh.


sumber : http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=961#more-961 Read More..
Potensi Siswa dan Sekolah Bisa Lebih Tergali



Semarang (Suara Merdeka: 02/10/06) Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diharapkan sudah diterapkan untuk semua sekolah pada tahun depan, memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan kurikulum 2004 atau sebelumnya.

Selain sebagai penyempurnaan atas kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sebelumnya, KTSP memberikan otoritas kepada sekolah jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan mengaplikasikan KTSP, sekolah bisa membuat sendiri kurikulumnya yang disesuaikan dengan potensi sekolah.

Menurut Kasi Kurikulum Dikmen Dinas Pendidikan Kota, Drs Sutarto MM, di kurikulum itu ada pengembangan diri yang disamakan dengan dua jam pelajaran. “Semua disesuaikan dengan potensi dan perkembangan siswa untuk mengembangkan bakat, minat, dan potensi. Namun tetap disesuaikan dengan kemampuan sekolah,” urainya.
Dia mencontohkan potensi siswa di bidang olahraga bulu tangkis. Kalau seorang siswa memiliki bakat dan potensi di bidang tersebut, akan disamakan dengan dua jam pelajaran.

Dengan catatan pihak sekolah memiliki fasilitas tersebut. Begitu juga siswa yang memiliki kemampuan di bidang seni, tari ataupun musik.”Semua potensi akan lebih tergali dengan KTSP, tetapi sekali lagi tetap disesuaikan dengan kemampuan sekolah. Kalau ada siswa yang pandai bermain golf misalnya, tentunya sekolah tidak mampu menampung aspirasinya. Fasilitas sekolah untuk olahraga itu tentu belum ada,” urainya.

Diakui

Dia mengatakan, dalam KTSP praktik yang dilakukan siswa di dalam ataupun di luar sekolah diakui sebagai tatap muka. Perbandingan yang digunakan adalah 1:2:4, dimana jika seorang siswa melakukan praktik di lingkungan sekolah dua jam, akan diakui satu jam tatap muka. Apabila siswa praktik di luar sekolah, di bengkel atau perkebunan misalnya empat jam, diakui satu jam tatap muka.

Menurut Sutarto, pada kurikulum 2004, pihak pusat menyediakan perangkat kurikulum kompetensi, indikator, materi pokok, silabus, dan rencana pembelajaran yang diserahkan pada guru. Sementara di KTSP, pihak pusat hanya menyediakan standar kompetensi dan kompetensi dasar.”Materi pokok dan indikator diserahkan semua pada pihak sekolah, termasuk di dalamnya silabus dan rencana pembelajaran. Dengan demikian, sekolah bisa membuat sendiri kurikulumnya sesuai dengan potensi masing-masing,” tambahnya.


sumber : http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=969#more-969 Read More..
Moral Guru dalam Sertifikasi Profesi



Selama melakukan monitoring, tim independen dan tim internal yang dibentuk oleh Konsorsium Sertifikasi Guru Departemen Pendidikan Nasional serta monitoring masyarakat melalui media ternyata menemukan berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan oleh guru ketika menjadi peserta dalam proses sertifikasi profesi guru pada 2006 dan 2007 melalui uji portofolio. Kecurangan tersebut ada yang berbentuk pemalsuan berkas penghargaan dan sertifikat pelatihan, penjiplakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, hingga pembuatan ijazah palsu, bahkan hampir semua berkas palsu tersebut disahkan oleh kepala sekolah masing-masing. Ada pula kecurangan yang berbentuk penyuapan dengan cara menyelipkan uang dalam berkas portofolio. Bukti kecurangan yang paling telak adalah penemuan berkas asli yang dipalsukan dengan foto pemalsu yang masih ditempelkan di berkas asli dan siap difotokopi, yang ikut terjilid bersama berkas lain. Semua bentuk kecurangan tersebut diberkaskan dengan baik oleh setiap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Induk yang menjadi penyelenggara uji portofolio.

Meski demikian, pada dasarnya semua bentuk kecurangan tersebut fakta persentasenya kurang dari 3 persen, karena jumlah kecurangan itu tidak sampai mencapai ribuan guru, sedangkan peserta sertifikasi berjumlah hampir 200 ribu orang. Bayangkan kecilnya persentase kecurangan tersebut jika dibandingkan dengan jumlah guru yang ikut sertifikasi itu. Penyamarataan dari hasil temuan yang terhitung tidak berarti tersebut akan sangat melukai hati guru yang masih bersikap jujur, jika perilaku segelintir guru yang sontoloyo itu dijadikan ukuran moralitas semua guru di Indonesia ini.

Namun, media memang memiliki andil yang besar dalam membesar-besarkan berita kecurangan tersebut, sehingga sesuatu yang sebetulnya tidak mewakili keseluruhan populasi guru dikesankan mewakili perilaku semua guru yang penuh kecurangan. Tapi salahkah media memberitakan kecurangan tersebut? Tidak juga. Sebab, narasumber otoritatif yang diwawancarai media juga sering kali dengan bersemangat menjawab semua pertanyaan wartawan andal yang menggiringnya berbicara tentang sesuatu yang disenangi pembacanya: ya, kecurangan itu. Seharusnya narasumber selalu mengatakan bahwa yang jujur jauh lebih banyak daripada yang curang dan kecurangan itu tentu tidak mewakili perilaku semua guru, apalagi jika dibeberkan dalam bukti angka persentase.

Harapan masyarakat

Dalam sebuah proses uji sertifikasi dalam waktu yang sangat singkat, apalagi menyangkut masa depan kesejahteraan guru, kepanikan pasti terjadi. Dalam kepanikan, pasti saja ada guru yang bertindak curang. Tapi kecurangan dalam persentase yang di bawah 3 persen seperti itu masih wajar. Namun, mengapa akhirnya menjadi kehebohan di media dan masyarakat? Saya menduga, media pasti mengerti bahwa masyarakat kita telanjur menginginkan semua guru berperilaku mulia seperti malaikat. Sebab, selain mulianya profesi guru, mereka memiliki persepsi bahwa sudah sulit mendapatkan kejujuran di republik ini. Jadi, jika guru saja bejat, siapa lagi yang bisa diharapkan sebagai penjaga moral? Padahal, karena guru masih manusia, pastilah berada di posisi abu-abu, ada yang mulia seperti malaikat, tapi ada pula guru yang khilaf menampar murid, bermain judi, dan suka minuman keras, bahkan ada yang memperkosa murid dan mencuri sepeda motor. Tapi berapalah jumlah guru bejat seperti itu? Pasti sangat sedikit dibanding guru yang berperilaku mulia.


http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=981#more-981 Read More..
MANAJEMEN KURIKULUM ATAU MANAJEMEN SEKOLAH?
Salah kaprah atau Ketidak-pedulian?

KabarIndonesia
Dalam dua tulisan terdahulu : YANG TERLEWATKAN DARI KTSP dan SEHABIS KTSP LALU APA? SKS! penulis telah memaparkan secara teknis upaya-upaya untuk memahami grand design pendidikan kita yang menyatu dengan langkah-langkah untuk mencapai kriteria Sekolah Mandiri. Dalam tulisan itu penulis juga mensyaratkan penerapan KTSP secara benar (melalui penyusunan Dokumen I dan Dokumen II seperti yang termaktub dalam Permen No. 22/2006, Permen No. 23/2006 dan Permen No. 24/2006 bulan April 2006) serta perlunya pembenahan manajemen sekolah (melalui Permen No. 19/2007 bulan Mei 2007 tentang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).

Namun amat disayangkan bahwa kita hanya mengikutinya sepotong-sepotong sehingga sekolah-sekolah kita terjebak dalam pola kebiasaan lama, tak ada upaya menuju perubahan, terobosan dan revitalisasi seperti yang telah penulis uraikan dalam dua tulisan terdahulu. Mengapa ini semua terjadi? Karena kita selalu bergerak dalam tataran wacana sedangkan rangkaian Peraturan Mendiknas (Permen) itu membutuhkan langkah-langkah teknis implementasi konkrit di lapangan.

Meskipun penulis sudah menengarahi KTSP sebagai revolusi dalam dunia pendidikan kita, tapi sekolah-sekolah kita tetap melihatnya secara adem ayem saja. Apa sebabnya? Filosofi perubahan ini tak tertangkap, yaitu perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam dunia pendidikan kita dapat diaudit secara jelas dan terukur. Kompetensi guru dan siswa harus dapat diaudit, begitu pula kinerja sekolah dan tenaga kependidikan (kepala sekolah, wakil kepala sekolah dan guru) harus dapat diaudit secara jelas dan terukur. Kesalah-pahaman dan kesalah-kaprahan

Bila sekolah-sekolah tidak menyusun KTSP menurut 15 langkah standar minimal yang disyaratkan oleh para pakar disain kurikulum (Bloom, Peter W. Airisian, Mills dll) maka benang merah antara KTSP dan MBS tak akan terlihat. Rumusan Visi dan Misi sekolah hanya akan menjadi penghias dinding ruang Kepala Sekolah saja sedangkan para guru bekerja menurut polanya sendiri-sendiri.

Disiplin makin merosot dan pendidikan budi pekerti tetap terabaikan (orang hanya berbicara tentang pendidikan nilai yang diseminarkan dan tak membumi). Seluruh stakeholders akan terjebak dalam kesalah-pahaman yang fatal yaitu menganggap KTSP sebagai urusan administrasi (manajemen kurikulum) guru semata, bukan urusan pembenahan manajemen sekolah.

Transparansi dan akuntabilitas hanya dipahami sebagai penilaian hard competency (cepatnya membagi hasil ulangan/test kognitif saja) tanpa melihat potensi soft competency (psikomotorik dan afektif) yang terpendam dalam diri siswa. Akibatnya akan muncul kesalah-kaprahan massal yaitu menganggap pengadopsian tata cara terapan manajemen kurikulum sebagai suatu terobosan baru seperti :

* - penggunaan SMS (sistim manajemen sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan nilai ulangan/test kognitif secara on-line, atau
* - SAS (sistim administrasi sekolah) yang tak lebih adalah pelaporan silabus dan hasil pembelajaran dalam suatu bank data yang tersentralisir dan dapat diakses publik (namun proses pemelajaran (yang sangat berbeda dengan proses pembelajaran) yang sangat penting dalam penyusunan KTSP malah tak terakomodasi dalam SAS), atau
* - SIMS (sistim informasi manajemen sekolah) dan SIMDIKDU (sistim informasi pendidikan terpadu) yang tak lebih dari penyatuan data informasi siswa, kurikulum dan rapor serta data kelengkapan infrastruktur sekolah yang biasanya tersimpan dalam bank data sekolah di server yayasan menjadi terbuka dan dapat diakses publik (namun hal ini tidak menjawab pertanyaan bagaimana cara mengaudit kinerja sekolah dan kinerja semua tenaga kependidikan (kepala sekolah/wakil kepala sekolah dan guru) melalui SIMS/SIMDIKDU.

Kalau semua data sudah bisa disatukan di bank data dan dapat diakses publik, so what gitu lho? Apakah sekolah lalu siap untuk maju dalam sertifikasi ISO 9000 (audit manajemen berstandar internasional)?



http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20071019073309 Read More..
GURU-GURU INDONESIA KINI SAATNYA BERWAWASAN GLOBAL
Judul: GURU-GURU INDONESIA KINI SAATNYA BERWAWASAN GLOBAL
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian KESISWAAN / STUDENTS &
LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): UMI MAIMANAH,S.Pd
Saya Guru di Kab.Pacitan Tawa Timur
Topik: PENTINGNYA PENGUASAAN TERHADAP TEHNOLOGI INFORMASI
Tanggal: 11 Mei 2008

GURU-GURU INDONESIA KINI SAATNYA BERWAWASAN GLOBAL


Melalui forum ini Penulis termotivasi untuk menampilkan kembali Artikel dengan Tema tersebut diatas yaitu Pentingnya Penguasaan Tehnologi Infornasi Dan Komunikasi.Penulis sempat menulis cuplikan artikel tersebut pada Webb KTI Guru On-Line yang diselenggarakan oleh Direktur Profesi Pendidik dan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan ( PMPTK )
Pada intinya guru sebagai pelaku Pendidikan hendaknya mempunyai kesadaran yang tinggi akan kompetensi dirinya dalam peningkatan sumber daya manusia dan tentunya kualitas pendidikan secara umum.Sehubungan dengan tuntutan jaman, pendidikan juga dihadapkan pada masalah baik yang bersifat lokal,nasional bahkan internasional.
Menyadari akan keadaan yang seperti itu tidaklah timbul dalam nurani seorang guru untuk lebih memiliki wawasan yang luas demi menjawab segala permasalahan tersebut.Untuk itu marilah kita sebagai guru harus bangkit dan merubah paradigma kita, ternyata dunia pendidikan di Indonesia ini sudah berkompetisi pada tahap yang GLOBALISASI.
Dengan situasi yang demikian ini sebagi guru kita harus mengembangkan cara pembelajaran kita untuk mengedepankan pendekatan materi yang bersumber pada tehnologi informasi dan komunikasi yang ada.
Penggunaan internet sebagai alat dan sumber materi pembelajaran hendaknya selalu menyertai kita sebagai guru dalam kegiatan Pembelajaran. Tetapi tentunya untuk menguasai internet harus mahir dulu dalam hal penguasaan operasional komputer paling tidak bisa menguasai program Microsoft Word.
Ternyata dengan berwawasan global ini Penulis mendapatkan banyak pengalaman yang sangat bermanfaat sekali baik demi peningkatan kompetensi sebagai guru dan tentunya akan memberikan imbas pada peningkatan Pembelajaran di Kelas dan secara Umum bagi Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia ini.
Selain itu guru-guru harus perlu meningkatkan kompetensi terhadap penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional, karena banyak materi pelajaran yang ditulis dengan bahasa Inggris misalnya: mencari Lesson Plan ( Rencana Pembelajaran ) hanpir semua ditulis dengan menggunakan Bahasa Inggris.
Namun kita tidak usah pesimistis selama ada niat dan usaha pasti Tuhan akan menolong kita dan memberikan jalan keluar dengan beberapa kemudahan-kemudahan. Bukanlah dalam kesulitan teredapat kemudahan.Setelah kesulitan akan ada kemudahan ( Q.S. Alam Nasyrah ayat: 5-6 ). Read More..
Dapatkah anda bayangkan bila segala sesuatu itu berjalan tanpa adanya pengaturan dan peraturan. Sebagai contoh : bumi, bulan, Jupiter, Mars dan segala isi tata surya ini berjalan dan beredar tanpa adanya jalur, atau dapat kita gunakan anologi sederhana apabila seorang anggota masyarakat selalu berbuat sekehendak hatinya tanpa mempertimbangkan perasaan tetangga dan kerabat yang di dekatnya. Dalam dunia industri pun dapat kita ambil contoh apabila suatu perusahaan yang berkaryawan sebanyak 10 orang semuanya adalah pekerja atau supervisor atau manajer, maka bagaimana perusahaan tersebut jadinya? Dalam hal ini diperlukanlah suatu peraturan yang mengatur atau memanajemen guna mencapai tujuan yang dikehendaki bersama.

Dalam dunia pendidikan pun dibutuhkan pengaturan yang sangat teliti. Hal ini digunakan guna mencapai tujuan dari pengadaan sekolah tersebut dan juga tujuan lainnya. Pengaturan dalam dunia pendidikan atau secara sederhana dalam sekolah tentu berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam masyarakat dan dunia industri. Aturan, struktur organisasi, kebutuhan dan manajemen serta tujuan yang digunakan akan disesuaikan dengan keadaan yang diperlukan.

Dalam sekolah terdapat kepala sekolah yang bertindak sebagai Manajer umum, para wakil kepala sekolah sebagai manajer lainnya dan guru sebagai ujung tombak bagian produksi. Sebagai perusahaan (bila dapat kita sebut demikian) penyedia jasa pendidikan sekolah pun memerlukan taktik guna menarik para pelanggannya dalam hal ini adalah para siswa dan wali murid. Setelah mendapatkan kepercayaan dari pelanggan ini (siswa dan wali murid) sekolah harus menjaganya dengan membina para siswa dan memberikan layanan – layanan khusus sampai dengan pembinaan para alumni agar pelanggan tidak lari dan dapat menjadi pemasar (marketing) dari mulut ke mulut atau yang penulis sebut dengan MTM (mouth to mouth).


http://www.google.co.id/search?hl=id&q=manajemen+kesiswaan&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq= Read More..
Masuk Pukul 6.30, Siswa dan Guru Keberatan Bangun Lebih Pagi

Sejumlah siswa, staf pengajar dan orang tua siswa mengaku keberatan dengan kebijakan baru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang memajukan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 WIB. Bimo Wahyu Prakoso, salah seorang siswa SMU 6 Jakarta Selatan yang ditemui Senin (24/11) mengungkapkan, pemberlakuan jam masuk lebih awal hanya akan mengakibatkan banyak siswa yang telat masuk sekolah.

"Kalau di sini (SMUN 6 Jakarta) itu ada yang namanya telat pulang. Jadi bila siswa telat, maka dia akan dipulangkan oleh bagian keamanan sekolah dan kesiswaan. Mereka dipulangkan dan tercatat ijin," katanya.

Ia menuturkan, saat sekolah masih masuk pukul 07.00 WIB ini saja, masih banyak siswa yang telat datang ke sekolah, apalagi nanti saat jam sekolah harus dimulai lebih awal setengah jam dari biasanya. "Bisa jadi bila peraturan tersebut akan diberlakukan banyak siswa yang akan telat, dan tidak akan masuk sekolah," lanjut siswa kelas III jurusan IPA 1 ini.

Hal senada diungkapkan oleh Nastassya Dean, yang masih satu sekolahan dengan Bimo. Menurutnya, usulan Pemprov harusnya tidak diterapkan kepada siswa saja. "Mestinya bila ingin mengurangi kemacetan di Jakarta itu, jumlah kendaraan saja yang dibatasi. Bukannya sekolah yang harus diberlakukan masuk lebih pagi," katanya.

Dengan pembatasan kendaraan, lanjut Tassya, maka tingkat kemacetan akan dapat ditekan. "Karena menurut saya letak kemacetan itu dikarenakan banyaknya kendaraan yang ada di jalanan di Jakarta. Sekarang saja saya berangkat dari rumah jam setengah enam pagi. Kalau jam sekolah maju setengah jam, saya harus berangkat jam lima pagi dong dari rumah," terangnya.

Senada dengan keberatan para murid, Hamid, guru sejarah yang mengajar di SMU Negeri 6 Jakarta, juga mengaku keberatan dengan kebijakan baru ini. "Biasanya saya berangkat dari rumah di Pamulang, Tangerang pukul 05.30 WIB, dan baru sampai di sekolah pukul 10.00 WIB. Bila nanti jam pelajaran lebih awal, berarti saya juga harus berangkat lebih pagi donk. Dan terus terang saya keberatan dengan itu," ujar Hamid.

Selain itu, bila peraturan tersebut jadi dilaksanakan pada awal Januari 2009 juga disayangkan oleh Hamid. "Peraturan tersebut harusnya dimulai saat tahun ajaran baru, bukan tahun baru. Jadi sebaiknya dilaksanakan pada pertengahan 2009, saat semua siswa dan aktifitas pendidikan mengawali musim belajar mengajar, supaya penyesuaian jadi lebih mudah," sambungnya.

Sementara itu, seorang wali murid mengungkapkan, kebijakan perubahan jam masuk sekolah tidak akan efektif. "Saya rasa memasukkan siswa pukul 06.30 itu kurang tepat, karena kemacetan di Jakarta sudah ada sejak pagi hari. Pukul 06.00 WIB saja jalanan di Palmerah Barat sudah macet, jadi apakah peraturan ini nantinya bakal efektif menekan kemacetan," ungkap Gunawan Cahyono yang anaknya sekolah di SMP Negeri 16 Jakarta


http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/24/17461755/masuk.pukul.6.30.siswa.dan.guru.keberatan.bangun.lebih.pagi Read More..
Standar UN Dinaikkan, Sejumlah Guru Mengaku Tak Sanggup


Sejumlah guru sekolah menengah atas di Purbalingga dan Banyumas mengaku tak sanggup untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian nasional yang akan diselenggarakan 22 April mendatang. Hal itu menyusul naiknya standar UN dari 5,00 menjadi 5,25 ditambah dengan bobot soal yang cukup sulit.

Prasetyo, guru SMA Negeri 1 Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Senin (14/4), mengaku, tak hanya siswa yan g pusing menghadapi UN kali ini, para guru juga dibuat pusing. Terlebih lagi, jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN, bertambah dari empat mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran.

Pelaksanaan UN, menurutnya, juga lebih cepat satu bulan dibandingkan tahun lalu yang diselenggarakan pada bulan Mei. Akibatnya, guru harus memadatkan mata pelajaran. "Karena dengan dimajukannya pelaksanaan UN pada bulan April ini, proses belajar mengajar satu semester hanya efektif berlangsung selama lima bulan," tuturnya.

Karenanya, dia mengaku pesimistis dapat mempersiapkan siswanya agar bisa lulus UN seluruhnya pada tahun ini. Tahun kemarin saja, ada 80 siswa dari 140 siswa di sekolah kami yang tidak lulus. "Bagaimana dengan sekarang," ujarnya.

Salah seorang pengurus Forum Interaksi Guru Banyumas, Agus Wahyudi, juga mengakui hal yang sama. Menurutnya, hampir seluruh SMA yang berada diluar Kota Purwokerto belum siap menghadapi UN tahun ini dengan standar yang terlampau tinggi. Contohnya pada tahun 2007, 25 persen sisw a SMA di Kecamatan Patikraja dan Rawalo tak lulus UN.

Sudah banyak guru SMA yang mengeluh dengan standar UN sekarang ini, terutama untuk SMA negeri yang berada di pinggiran kota maupun swasta. Mereka belum mampu karena kapasitas siswanya sendiri pun terba tas. "Hal itu sangat terlihat dari standar nem (nilai evaluasi murid) siswa yang masuk ke sekolah itu," tuturnya.

Meningkatnya standar kelulusan UN, lanjut Agus yang juga guru di SMA Negeri 1 Purwokerto, juga tak hanya membuat sulit guru dan siswa, melainkan juga orang tua siswa. Dengan standar kelulusan yang dinaikkan, para orang tua siswa pun harus mengeluarkan biaya lagi untuk meleskan anaknya di bimbingan belajar. "Biayanya untuk ini, tentu saja tidak sedikit," ucapnya.

Agus mengatakan, sejak pertama kali pun dirinya sudah meminta kepada pemerintah agar UN ditiadakan. Penerapan UN sama saja bertentangan dengan nilai pembelajaran. Nilai pembelajaran itu kan bagaimana guru mentransformasikan pengetahuan kepada siswa, dan bagaimana siswa memahaminya. "Bukan malah siswa diwajibkan untuk mengerjakan soal-soal pilihan ganda, dan mendapat nilai," tuturnya.



http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/14/20244833/standar.un.dinaikkan.sejumlah.guru.mengaku.tak.sanggup Read More..
Eropa Bantu Pendidikan Dasar di Indonesia


Indonesia mendapatkan dana hibah untuk pengembangan Program Kapasitas Pendidikan Dasar atau Basic Education Capacity -Trust Fund (BEC-TF) dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa. Dana hibah ini untuk jenis hibah peningkatan kapasitas meliputi 50 kabupaten/kota, hibah program rintisan meliputi 6 kabupaten dan 30 sekolah, serta hibah program pusat pembelajaran yang berhasil bagi 6 institusi pendidikan.

Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Suyanto dalam acara sosialisasi dan workshop seleksi kabupaten kota calon penerima program Tahun 2008-2009, di Jakarta, Kamis (24/7), mengatakan pada tahap pertama dana hibah dari Pemerintah Belanda dan Komisi Eropa mencapai 51 juta dolar AS atau sekitar Rp 459 miliar. Dari nilai tersebut, 33 juta dolar AS dikelola pemerintah Indonesia dan 18 juta AS dikelola Bank Dunia.

Program BEC-TF ini lebih ditujukan bagi upaya peningkatan kapasitas pemerintah daerah agar dapat meningkatkan peran dan tanggung jawabnya dalam konteks desentralisasi. Kapasitas yang dikembangkan antara lain mencakup penguatan perencanaa, manajemen keuangan, manajemen sumber daya manusia serta sistem monitoring dan evaluasi.




http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/24/22442962/ Read More..
Standar UN Dinaikkan, Sejumlah Guru Mengaku Tak Sanggup

Sejumlah guru sekolah menengah atas di Purbalingga dan Banyumas mengaku tak sanggup untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian nasional yang akan diselenggarakan 22 April mendatang. Hal itu menyusul naiknya standar UN dari 5,00 menjadi 5,25 ditambah dengan bobot soal yang cukup sulit.

Prasetyo, guru SMA Negeri 1 Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, Senin (14/4), mengaku, tak hanya siswa yan g pusing menghadapi UN kali ini, para guru juga dibuat pusing. Terlebih lagi, jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN, bertambah dari empat mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran.

Pelaksanaan UN, menurutnya, juga lebih cepat satu bulan dibandingkan tahun lalu yang diselenggarakan pada bulan Mei. Akibatnya, guru harus memadatkan mata pelajaran. "Karena dengan dimajukannya pelaksanaan UN pada bulan April ini, proses belajar mengajar satu semester hanya efektif berlangsung selama lima bulan," tuturnya.

Karenanya, dia mengaku pesimistis dapat mempersiapkan siswanya agar bisa lulus UN seluruhnya pada tahun ini. Tahun kemarin saja, ada 80 siswa dari 140 siswa di sekolah kami yang tidak lulus. "Bagaimana dengan sekarang," ujarnya.

Salah seorang pengurus Forum Interaksi Guru Banyumas, Agus Wahyudi, juga mengakui hal yang sama. Menurutnya, hampir seluruh SMA yang berada diluar Kota Purwokerto belum siap menghadapi UN tahun ini dengan standar yang terlampau tinggi. Contohnya pada tahun 2007, 25 persen sisw a SMA di Kecamatan Patikraja dan Rawalo tak lulus UN.

Sudah banyak guru SMA yang mengeluh dengan standar UN sekarang ini, terutama untuk SMA negeri yang berada di pinggiran kota maupun swasta. Mereka belum mampu karena kapasitas siswanya sendiri pun terba tas. "Hal itu sangat terlihat dari standar nem (nilai evaluasi murid) siswa yang masuk ke sekolah itu," tuturnya.

Meningkatnya standar kelulusan UN, lanjut Agus yang juga guru di SMA Negeri 1 Purwokerto, juga tak hanya membuat sulit guru dan siswa, melainkan juga orang tua siswa. Dengan standar kelulusan yang dinaikkan, para orang tua siswa pun harus mengeluarkan biaya lagi untuk meleskan anaknya di bimbingan belajar. "Biayanya untuk ini, tentu saja tidak sedikit," ucapnya.

Agus mengatakan, sejak pertama kali pun dirinya sudah meminta kepada pemerintah agar UN ditiadakan. Penerapan UN sama saja bertentangan dengan nilai pembelajaran. Nilai pembelajaran itu kan bagaimana guru mentransformasikan pengetahuan kepada siswa, dan bagaimana siswa memahaminya. "Bukan malah siswa diwajibkan untuk mengerjakan soal-soal pilihan ganda, dan mendapat nilai," tuturnya.




http://www.kompas.com/read/xml/2008/04/14/20244833 Read More..
Menengok Sekolah Berstandar Internasional di Sragen

Kabupaten Sragen menginjak usianya yang ke-262 tahun tepat tanggal 27 Mei 2008. Dengan usia demikian matang, kabupaten yang memosisikan diri sebagai smart regency ini rajin "menjual" potensi daerahnya. Salah satunya adalah sekolah berstandar internasional yang dirintis sejak dua tahun lalu, yakni di Kecamatan Gemolong dan Kecamatan Karangmalang.

Hingga kini, sudah ada dua angkatan yang bersekolah di jenjang taman kanak-kanak dan sekolah dasar (SD) di dua sekolah berstandar internasional (SBI) itu. Rencananya, mulai tahun ajaran ini di kompleks SBI Gemolong akan dibuka SBI di jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang bekerja sama dengan Pacific Countries Social and Economic Solidarity Association (Pasiad). Pasiad bertanggung jawab terhadap pendidikan, bimbingan, kurikulum, dan sistem manajemen sekolah.

"Kami ingin agar generasi muda Sragen mampu bersaing. Bahasa Inggris menjadi kunci pintu gerbang persaingan di era global," ujar Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sragen Gatot Supadi, Selasa (27/5).

SBI menekankan aspek pembelajaran melalui pengalaman dengan tujuan memberi modal kecakapan hidup (life skill) agar siswa mampu kreatif menghadapi hidupnya di masa depan. Misalnya, siswa diajak pergi melihat pembuatan tahu, menanam pohon, dan melihat pembuatan KTP di kecamatan.

SBI di Sragen memakai Kurikulum Nasional Plus X. "Maksudnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, tetapi ditambah dengan pengembangan sesuai standar internasional," ucap Koordinator TK/SD SBI Kroyo, Karangmalang, K Mudo Triasmoro bersama Kepala SBI Kroyo Marjono.

Suasana SBI Kroyo yang berstatus sekolah negeri tidak jauh berbeda dengan sekolah negeri non-SBI. Hanya saja, siswa SBI boleh dibilang lebih "beruntung" karena menyediakan fasilitas lebih lengkap, antara lain ruang kelas multimedia, perpustakaan dengan koleksi buku berbahasa Inggris, dan ruang musik. (SRI REJEKI)



http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/28/12164579/menengok.sekolah.berstandar.internasional.di.sragen Read More..
Kalangan pendidikan diharapkan mengkritisi janji perbaikan pendidikan yang kerap disuarakan dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum 2009. Kalangan pendidikan harus terus menagih janji bila calon itu terpilih.

Menurut Ketua Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Indonesia, Sitti Hikmawatty, Selasa (23/12) di Bandung, di era otonomi daerah, menjelang pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum, banyak disuarakan janji perbaikan pendidikan. Janji itu dijadikan senjata utama menarik suara sebanyak-banyaknya.

"Biasanya yang disuarakan adalah pendidikan gratis, pemerataan pendidikan, pendidikan berkualitas, hingga pendidikan cerdas berkualitas," katanya dalam Seminar Nasional bertema Dengan Anggaran Pendidikan APBN dan APBD 20 Persen, Orang Miskin Tidak Boleh Sekolah di Grha Kompas Jawa Barat.

Akan tetapi, dari pengalaman pemilihan kepala daerah sebelumnya, tidak semua janji itu ternyata ditepati. Hingga kini beberapa beberapa janji belum dilakukan, terutama pendidikan gratis.

Program kemudahan pendidikan itu hanya digunakan sebagai pemanis masa kampanye. Selain itu, banyak calon yang belum mengerti benar mengenai mekanisme pemberian pendidikan gratis.

Oleh karena itu, ia mengharapkan agar kalangan pendidikan tidak terjebak dan sekedar dijadikan komoditas politik. Kalangan pendidikan harus melakukan kontrol dan terus menagih janji.

"Jangan sampai masyarakat terjebak dalam janji manis itu. Bila ternyata calon pemimpin tidak berkomitmen baik itu terpilih, maka dunia pendidikan di Indonesia akan selalu terpuruk," katanya.

Menurut Koordinator Perguruan Tinggi Swasta IV Jawa Barat dan Banten, Rochim Suratman, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap janji perbaikan pendidikan.

Diantaranya mewujudkan janji perbaikan gratis hingga penyediaan lapangan pekerjaan. Hal itu dikatakan untuk meningkatkan minat masyarakat untuk menuntut ilmu atau belajar lebih baik.

"Dengan pemenuhan janji berarti wakil rakyat itu terpilih sudah beritikad baik. Jangan sampai janji yang disampaikannya dulu hanya janji manis," katanya.

Sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga resah dengan janji pemberian kesehatan gratis yang disuarakan dalam mayoritas pemilihan kepala daerah. Alasannya, hingga kini belum ada aturan dan tata cara jelas.

Ketua Umum IDI, Fachmi Idris mengatakan, beberapa hal penting antara lain pengertian pengobatan gratis, skema pembiayaan, dan mekanisme rujukan rumah sakit. Pengertian gratis, menurut Fachmi, bukan semata-mata membebaskan pembiayaan sama sekali.

Ada pihak ketiga, dalam hal ini pemerinrah yang membiayainya. Hal itu dilakukan agar prinsip masyarakat mendapatkan hak sehat bisa tercapai.

"Bila selanjutnya tidak ada kompensasi dari pemerintah daerah, permasalahan selanjutnya, beban biaya manajemen pengobatan akan dibebankan pada rumah sakit," kata Fachmi.



http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/23/23012939/janji.pendidikan.dalam.pilkada.dan.pemilu.harus.dikritisi. Read More..
jika dalam satu dekade terakhir Gerakan Pramuka mengalami kemunduran eksistensi dan kinerja, maka sekaranglah saatnya untuk bangkit. Gerakan Pramuka harus direvitalisasi, untuk ini sudah 14 departemen dan lembaga menyatakan dukungan. Ini penting, karena krisis multidimensi dan globalisasi memunculkan pelbagai masalah di kalangan kaum muda yang dapat mengancam masa depan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mengatakan hal itu, Senin (14/4) di Cibubur, ketika membuka Latihan Pengembangan Kepemimpinan (LPK) tingkat Nasional, yang diikuti sekitar 60 utusan Dewan Kerja Daerah Pramuka Penegak dan Pandega dari seluruh Indonesia dan juga dari Malaysia.

"Untuk menjadi pemimpin, yang utama bagaimana bisa memberi pengaruh, memberi teladan, dan bekerja keras. Jangan tunda pekerjaan yang bisa dikerjakan hari ini, demikian agama mengajarkan," ujarnya. Revitalisasi Gerakan Pramuka dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 14 Agustus 2006 lalu. Ajakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ketika mencanangkan revitalisasi Gerakan Pramuka, yaitu perkuat Gerakan Pramuka sebagai wadah pembangunan karakter bangsa. Raih keberhasilan melalui kerja keras secara cerdas dan ikhlas. Ajak kaum muda meningkatkan semangat bela negara. Mantapkan tekad kaum muda sebagai patriot pembangunan. Utamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Kokohkan persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Dan amalkan Satya dan Darma Pramuka.

Adhyaksa Dault yang berdialog dengan peserta LPK menegaskan, Gerakan Pramuka dalam revitalisasi harus melakukan penguatan organisasi, memperkokoh eksistensi, dan evaluasi kegiatan dengan meningkatkan pelaksanaan peran, fungsi dan tugas pokok gerakan pramuka, terutama yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan pendidikan generasi muda. Anggota Pramuka sebagai pemuda harus mampu menempa diri menjadi pelopor dan teladan bagi yang lain.

Jangan melihat orang lain, jadilah diri sendiri. Banyak potensi yang bisa dikembangkan, misal dalam bidang kepemimpinan, bidang tulis-menulis untuk memberikan sumbangan pemikiran, berprestasi dalam bidang olahraga, kesenian, dan sebagainya. "Habiburrahman, seorang pemuda, yang dalam kondisi sakit, duduk di kursi roda, bisa menulis novel Ayat-ayat Cinta dan kemudian karyanya itu difilmkan. Novel dan film Ayat-ayat Cinta, sangat laris. Karyanya mencerahkan dan fenomenal," Menegpora Adhyaksa menyontohkan.

Sedangkan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Azrul Azwar mengatakan, krisis kepemimpinan yang melanda hampir di seluruh lini kehidupan negeri ini memberikan tantangan pada Gerakan Pramuka untuk mencetak kader pemimpin yang siap menghadapi segala tantangan di masa datang. "Kesinambungan gerak dan langkah Gerakan Pramuka sangat ditentukan dengan tersedianya kader-kader yang andal yang mampu menjawab segala tantangan zaman. Diharapkan Gerakan Pramuka dapat mengorbitkan pemimpin-pemimpin yang dikenal oleh semua kalangan, baik dalam segi karakternya maupun dalam etika akhlak dan berbudi pekerti luhur," ujarnya.

LPK yang dibuka Senin kemarin, berlangsung hingga tanggal 20 April mendatang. Metoda LPK Nasional itu menerapkan proses pembelajaran diri interaktif progresif dan andragogi di dalam ruangan maupun di alam terbuka dalam bentuk dialog, dinamika kelompok, diskusi panel, lokakarya, studi kasus dan pelatihan manajemen di luar ruang.


http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/14/21373032/pramuka.siapkan.kader.pemimpin.andal. Read More..
Untuk mencapai hasil pendidikan yang optimal harus didukung sarana dan prasarana pendidikan yang baik. Oleh karena itu, pada tahun 2009 Departemen Agama (Depag) akan merehabilitasi semua ruang kelas belajar yang rusak pada Madrasah Ibtidaiyah yang jumlahnya mencapai 24.650 ruang kelas, dengan unit cost per ruangan Rp 92,5 juta.

Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengatakan, pihaknya tidak hanya memperbaiki ruang kelas yang rusak, tetapi juga akan membangun madrasah bertaraf internasional minimal satu unit pada setiap provinsi mulai tahun ini. "Bahkan, untuk memacu prestasi belajar anak didik, Depag akan alokasikan beasiswa bagi 1.198.000 siswa dan 66.700 mahasiswa," ujarnya, Kamis (15/1) di Jakarta.

Maftuh menjelaskan, untuk beasiswa unit cost-nya berbeda-beda. Siswa miskin MI mendapat beasiswa Rp 360.000. Siswa miskin Mts Rp 720.000. Siswa MI anak PNS golongan I, II, dan Tamtama TNI/Polri Rp 250.000. Unit cost siswa Mts PNS golongan I, II, dan Tamtama TNI/Polri Rp 350.000. Unit cost siswa miskin MA Rp 760.000, sedangkan bagi siswa MA anak PNS golongan I, II, dan Tamtama TNI/Polri Rp 700.000.

Sementara unit cost siswa MA daerah terpencil/tertinggal Rp 1,2 juta. Unit cost untuk mahasiswa Rp 1,2 juta, santri berprestasi Rp 3 juta, dan unit cost untuk mahasiswa di luar negeri Rp 15 juta.

Depag, lanjut Maftuh, akan meningkatkan kualifikasi guru melalui tiga skema. Pertama, bantuan bagi guru yang mengikuti program S1 secara mandiri. Kedua, beasiswa bagi guru untuk mengikuti pendidikan S1 secara penuh melalui pendidikan reguler, dan ketiga, memberikan beasiswa bagi guru dalam jabatan melalui program dual mode system, yang mengombinasikan kegiatan tatap muka dan pembelajaran melalui modul. "Kepada guru yang sudah lulus sertifikasi, tunjangan profesi guru akan dibayarkan mulai tahun 2009 sebesar satu kali gaji pokok," tandasnya.

Menurut Maftuh, kontribusi pendidikan Islam terhadap Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan nasional mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008, APK MI/Salafiyah Ula mencapai 16 persen, APL MTs/Salafiyah Wustha mencapai 23 persen, dan APK MA mencapai 7,51 persen. "Jumlah total lembaga pendidikan Islam mulai jenjang pendidikan anak usia dini hingga jenjang perguruan tinggi pada tahun 2008 mencapai 85.911 lembaga, dengan total peserta didik 11.531.028 orang," jelas Menteri Agama itu.


http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/15/19012899/2009.depag.rehabilitasi.24.650.ruang.kelas.madrasah Read More..
Kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 persen ternyata seiring dengan meningkatnya defisit anggaran 2009. Dapat diasumsikan, ambisi pemerintah memenuhi konstitusi tersebut dipenuhi dengan cara berutang. Hal ini diungkapkan oleh anggota Komisi XI dari Fraksi PAN Dradjad Wibowo usai keterangan pers sejumlah partai menanggapi pidato kenegaraan presiden di Jakarta, Jumat (15/8).

Menurut Dradjad, persetujuan pemerintah terhadap kenaikan anggaran pendidikan sebesar Rp 46,1 triliun ternyata diikuti kenaikan defisit anggaran mencapai Rp 99,6 triliun atau 1.9 persen dari Produk Domestik Bruto. Sementara itu, dalam nota keuangannya, SBY mengatakan defisit anggaran rencananya akan dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri sekitar Rp 110,7 triliun dan pembiayaan luar negeri neto minus Rp 11,1 triliun.

"Kenaikan defisit itu tidak lepas adanya keinginan untuk memenuhi APBN pendidkan 20 persen. Jadi, defisit ini akan dibiayai melalui SUN. Saya rasa SUN nanti realisasinya bisa nanti Rp 140-150 triliun," ujar Dradjad.

Sementara itu, Ketua Panitia Anggaran Emir Moeis mengakui bahwa peningkatan 46.1 triliun dalam anggaran pendidikan belum dibicarakan secara khusus oleh pemerintah kepada DPR. "Hanya lewat SMS dari Menkeu," ujar Emir.

Emir mengharapkan jikalau peningkatan anggaran pun disetujui, pembiayaannya bukan dilakukan dengan menambah utang, namun dengan mengoptimalkan pos-pos penerimaan yang lain. "Jadi, jangan adalah perasaan semacam gapang ngutang," tandas Emir.

http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/15/1545195/anggaran.pendidikan.naik.utang.naik Read More..
Anggaran pendidikan pegawai PT Kereta Api (Persero) belum mencapai 2 persen. Pada 2008, nggaran PT KA untuk pendidikan dan pelatihan pegawai hanya mencapai 0,5 persen atau sekitar Rp 18 miliar.

Direktur Personalia dan Umum PT KA Joko Margono menjelaskan, angka Rp 18 miliar ini sudah dinaikkan dari anggaran tahun lalu sebesar Rp 13 miliar. Namun, seharusnya anggaran pendidikan untuk PT KA mencapai Rp 80 miliar. Apalagi dengan jumlah pegawai yang mencapai 26.000 orang.

"Padahal, menurut aturan, setiap perusahaan harus menyisihkan 2 persen dari pendapatannya untuk pendidikan dan pelatihan. Pendapatan kami Rp 4,2 triliun per tahun. Akibatnya, banyak pegawai kami yang sudah lama bekerja, tapi tidak pernah mendapatkan pelatihan atau pendidikan," ujarnya seusai temu wartawan di Jakarta, Selasa (19/8).

Joko mencontohkan, PT KA memiliki pegawai yang telah mengabdi selama 16 tahun. Namun, selama itu dia belum pernah mendapatkan pelatihan sekali pun. Idealnya, seorang pegawai harus mendapatkan pelatihan setidaknya tiga kali dalam setahun.

Selama ini PT KA mengakalinya dengan memberikan pembekalan-pembekalan berupa ceramah kepada pegawai. Menurut dia, belum terpenuhinya pemenuhan alokasi anggaran ini disebabkan tersedotnya sebagian besar pendapatan PT KA untuk biaya pemenuhan sarana dan prasarana.

Dia mengakui selama ini pihaknya melupakan pendidikan dan pelatihan karena terlalu berkonsentrasi pada pemenuhan sarana dan prasarana. Maklum, lanjut Joko, anggaran pemerintah untuk pemenuhan dan perawatan sarana serta prasarana masih minim. "Usulan anggaran untuk pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana sebesar Rp 19 miliar sampai sekarang belum dipenuhi. Jadi, mau tak mau kami mengambil dari pendapatan," katanya.


http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/19/13294419/anggaran.pendidikan.pegawai.pt.ka.tak.sampai.2.persen Read More..
Fasilitas perpustakaan sebagai salah satu sarana dan prasarana di sekolah yang penting untuk meningkatkan mutu pendidikan masih rendah. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan, baik soal ruangan perpustakaan maupun koleksi buku-buku yang tersedia, justru terjadi di tingkat pendidikan dasar.

Dari data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penambahan ruang perpustakaan di sekolah-sekolah pada jenjang pendidikan dasar sekitar 10 persen.

Yanti Sriyulianti, Koordinator Education Forum, di Jakarta, mengatakan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai standar nasional merupakan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat bisa menuntut pemerintah pusat dan daerah jika terjadi kesenjangan mutu pendidikan akibat sarana dan prasarana yang timpang di antara perkotaan dan pedesaan atau di antara sekolah-sekolah yang ada.

Perpustakaan yang merupakan salah satu tempat untuk siswa dan guru mencari sumber belajar belum dianggap penting. Keberadaan perpustakaan hanya sekadar memenuhi syarat tanpa memperhatikan bagaimana seharusnya fasilitas perpustakaan disediakan dan bagaimana menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa dan guru untuk menumbuhkan minat baca.

Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan, mengatakan pendidikan dasar di Indonesia yang diamanatkan konstitusi untuk menjadi prioritas pemerintah masih berlangsung ala kadarnya. Pemerintah masih berorientasi pada menegejar angka statistik soal jumlah anak usia wajib belajar yang bersekolah, sedangkan mutu pendidikan dasar masih minim.

Padahal, soal sarana dan prasarana pendidikan di setiap sekolah untuk meningkatkan mutu pembelajaran itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang standar nasional sarana dan prasarana. Peraturan ini memberi arah soal keberadaan perpustakaan di setiap sekolah.


http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/13/22525295/minim.perpustakaan.di.tingkat.pendidikan.dasar Read More..